SOLOPOS.COM - Petugas PLN memegang kabel listrik bertegangan tinggi saat memeragakan Pekerjaan Dalam Keadaan Bertenganang (PDKB) di depan kantor PLN Solo, Jl. Slamet Riyadi, Purwosari, Rabu (17/5/2017). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Pemerintah menargetkan tarif listrik akan turun secara bertahap hingga 2019 mendatang.

Solopos.com, JAKARTA — ASAKI mengapresiasi rencana Kementerian ESDM yang menargetkan penurunan harga listrik untuk rumah tangga dan untuk kebutuhan industri. Pada 2020, tarif listrik industri ditargetkan menjadi Rp800 per kwh yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik (Asaki), Elisa Sinaga, mendukung langkah Menteri Energi dan dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan untuk menurunkan tarif listrik industri dan rumah tangga. Rencananya tarif listrik tersebut akan turun mencapai kisaran Rp800/kWh-Rp900/kWh pada 2020 mendatang.

Ekspedisi Mudik 2024

“Kebijakan ini membantu industri keramik untuk meringankan ongkos produksi. Harapannya selain harga listrik tarif gas juga ikut turun,” kata Elisa kepada Bisnis/JIBI, Jumat (7/7/2017).

Pada waktu sebelumnya Kementerian ESDM merencanakan adanya penurunan secara bertahap sampai pada 2019 sebanyak 5% dari harga normal saat ini. Tarif listrik industri untuk saat ini berkisar pada Rp1.100/kWh-Rp1.200/kWh sedangkan untuk kebutuhan rumah tangga tarifnya Rp1.400/kWh.

Elisa menyampaikan industri keramik masih terbebani oleh kebijakan premium price atau biaya beban puncak yang dikenakan kepada industri untuk aktivitas pabrik sekitar pukul 18.00-22.00. “Biaya beban puncak lebih mahal 50% dibandingkan tarif asalnya, padahal banyak industri keramik yang menjalankan proses produksinya mencapai 24 jam sehari,” ungkapnya.

Elisa mengungkapkan jika PLN tetap memberlakukan biaya beban puncak, seharusnya ada kebijakan lain seperti insentif price yang ditawarkan. Perihal insentif price pernah tertulis dalam paket ekonomi 2015 yang belum sepenuhnya berjalan.

“Insentif price yang dijanjikan pemerintah mengatakan akan memberi keringanan sebanyak 30% bagi industri yang melakukan aktivitas produksinya pada jam yang pengunaan listriknya sedikit yakni pada pukul 22.00-60.00,” katanya.

Asaki menambahkan jika insentif price tidak bisa dijalankan, seharusnya pemerintah menggunakan cara kedua yakni tarif flat untuk mendukung keberlangungan hidup industri. Tarif flat tidak menggolongkan harga listrik pada jam penggunaannya. “Dengan adanya tarif flat untuk kebutuhan industri sedikitnya bisa memacu daya saingnya terhadap manufaktur asing,” katanya.

Elisa menambahkan, pemerintah harus segera menggunakan alternatif energi baru agar tidak tergantung terhadap harga bahan bakar minyak (BBM) dunia atau batubara. Dia mencontohkan India yang mengembangkan energi nuklir yang bisa menghasilkan listrik dengan harga murah yakni Rp300/kWh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya