SOLOPOS.COM - Para tapol Papua (tidak berurutan) Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Ariana Lokbere, dan Surya Anta Ginting. (Twitter/@CIVICUSalliance)

Solopos.com, JAKARTA -- Tak hanya dugaan tekanan politik, lima dari enam tahanan politik atau tapol Papua yang mendadak batal bebas juga sempat dimintai uang oleh petugas di penjara. Mereka akhirnya batal mendapatkan pembebasan asimilasi pada Selasa (12/5/2020).

Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Dia menyebut kuasa hukum dari kelima tapol Papua sempat dimintai uang sejumlah Rp1 juta oleh oknum petugas penjara.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tanpa Dasar Ilmiah, Pelonggaran PSBB Diduga Demi Menuruti Keinginan Jokowi

"Pendamping [hukum] mereka sempat melaporkan kepada Amnesty adanya oknum yang meminta uang. Panitera sempat minta uang Rp 1 jt ke penasehat hukum," kata Usman kepada Suara.com, Rabu (13/5/2020).

Fakta pengacara tapol Papua dimintai uang oleh petugas rutan ini, kata Usman, menimbulkan dugaan lebih besar. Bahwa kemungkinan ada praktik jual beli asimilasi di penjara yang selama ini belum bisa benar-benar dihapuskan.

UU Minerba Baru Untungkan 7 Perusahaan Batu Bara, Termasuk Adaro

Oleh sebab itu, Amnesty meminta Ombdusman RI untuk mengusut dugaan mal-administrasi yang terjadi terhadap keempat tapol Papua di Rumah Tahanan Salemba. Begitu pula satu tapol bernama Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, 20, yang ditahan di Rutan Pondok Bambu.

Di Rutan Pondok Bambu, kabarnya sudah ada tahanan yang terjangkit Covid-19. Karena itu dia menyesalkan ketika kuasa hukum tapol Papua malah dimintai uang oleh petugas.

Pertama! Pasien Positif Covid-19 Alumni Ijtima Gowa di Klaten Sembuh

“Jika pihak berwenang ingin mendengarkan imbauan Komisi Tinggi HAM PBB dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di penjara. Justru pembebasan terhadap seluruh tahanan hati nurani tersebut sangat mendesak dan harus menjadi prioritas,” tegasnya.

Batal Asimilasi

Selain kelima tapol Papua, Amnesty juga mendesak pemerintah memberikan asimilasi kepada kelompok lain. Di antaranya perempuan hamil, orang dengan disabilitas, orang lanjut usia, orang yang sakit, pelaku kejahatan ringan serta tahanan yang akan segera menyelesaikan masa hukumannya.

Pasal-Pasal Mencurigakan di UU Minerba Baru, Untungkan Pengusaha Kelas Kakap

Kelima tapol Papua itu seharusnya bebas pada 26 Mei 2020. Namun pada 11 Mei petugas rutan menyatakan bahwa kelimanya akan mendapatkan asimilasi pembebasan napi dalam rangka pencegahan virus corona.

Namun, saat kelimanya sudah berkemas dan berada di ruang transit penjara untuk segera pulang, tiba-tiba pada pukul 17.00 WIB situasi berubah. Petugas registrasi kembali memanggil kelima tapol dan menyatakan bahwa asimilasi batal diberikan kepada mereka sehingga mereka batal bebas hari ini. Belakangan ada informasi kuasa hukum kelima tapol Papua itu dimintai uang.

Ilmuwan Ragukan Klaim Penurunan Kasus Covid-19 Pemerintah Jokowi

"Alasannya 'para tapol melakukan kejahatan terhadap keamanan Negara' dimana berbenturan dengan PP 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan," kata Tim Advokasi Papua Michael Himan.

Baru Bebas 26 Mei

Oleh karena itu, kelima tapol ini masih harus mendekam di penjara sekitar dua minggu ke depan. Diperkirakan mereka baru bisa bebas murni tanpa asimilasi pada 26 Mei 2020.

Usia 45 Tahun ke Bawah Boleh Bekerja Saat Pandemi, Pemerintah Maunya Apa?

Tim Advokasi Papua menduga ada tekanan politik yang masih saja menekan para aktivis Papua, bahkan ketika mereka sudah divonis sekali pun. Tim Advokasi Papua juga meminta Ombudsman RI dan Komnas HAM untuk menyelidiki keputusan yang diambil oleh Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan ini.

Sementara satu tahanan politik lainnya, Isay Wenda (25) yang divonis 8 bulan penjara dikurangi masa tahanan, sudah keluar penjara terlebih dahulu pada 28 April 2020 lalu.

Mendadak Batal Bebas, 5 Tapol Papua Kena Prank Negara

Majelis hakim memutuskan bahwa keenamnya terbukti bersalah karena melanggar Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 KUHP tentang makar. Tuduhan itu dialamatkan saat mereka menggelar aksi damai terkait di depan Istana Negara Jakarta menolak rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Papua di Surabaya pada 28 Agustus 2019 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya