SOLOPOS.COM - Ester Lianawati (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Saat ini perempuan hidup di tengah budaya patriarki yang sedang berusaha diruntuhkan. Perempuan zaman sekarang dihadapkan pada tuntutan patriarki dan ”tuntutan” feminis yang saling bertentangan. Bukan tidak mungkin perempuan mengalami kebingungan-kebingungan dan bahkan konflik internal.

Saya beri tanda kutip pada kata ”tuntutan” feminis. Kelompok feminis tidak bermaksud menuntut, namun perempuan yang ”terjepit” di tengah dua nilai dapat memersepsikannya sebagai tuntutan. Di satu sisi, perempuan kini mulai paham bahwa budaya patriarki merugikan dan menghambat pertumbuhan diri mereka.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Di sisi lain, tidak semudah itu untuk mengadopsi nilai-nilai feminisme yang cenderung berlawanan dengan semua yang mereka terima sedari kecil. Banyak perempuan tidak memahami pengetahuan feminisme.

Jika kini saya dan sebagian perempuan termasuk yang mengenal dan paham feminisme, akrab dengan artikel-artikel feminis, mengikuti akun-akun feminis di media sosial, tidak semua perempuan memiliki akses ini.

Ekspedisi Mudik 2024

Lantas bagaimana para perempuan yang (pro) feminis menyikapi situasi ini? Mereka hendaknya sabar menanti perubahan dan bersiap jika nilai-nilai feminisme tidak dihayati secara sama oleh perempuan seperti yang kita harapkan.

Pengetahuan pakar (savoir expert) ketika disebarkan dalam masyarakat akan menghasilkan pengetahuan awam (savoir profane). Serge Moscovici, bapak psikologi sosial Eropa, telah mengingatkan kita dalam teori representasi sosial.

Selalu akan ada modifikasi dalam savoir profane karena pemahaman masyarakat tidak pernah sama dengan yang dimaksudkan oleh savoir expert. Kehidupan perempuan masa kini merupakan bentuk perlawanan terhadap patriarki dan upaya adaptasi terhadap masyarakat yang sedang berevolusi.

Dari perlawanan terhadap nilai-nilai patriarki (representasi hegemonik) dan dari upaya adaptasi terhadap nilai-nilai feminis (representasi polemik) akan sangat mungkin perempuan menghasilkan representasinya sendiri (representasi emansipasi).

Kelompok feminis harus siap mengolah representasi baru ini, yang terbentuk langsung dari pengalaman-pengalaman perempuan, untuk memperbarui konsep-konsep feminisme. Kelompok feminis hendaknya tidak memaksakan nilai-nilai mereka kepada semua perempuan.

Jika ini terjadi, kita akhirnya menggantikan patriarki sebagai penindas. Kita perlu mendengarkan suara perempuan dan dengan rendah hati melakukan modifikasi pada teori-teori kita. Justru di sinilah kekhasan pengetahuan feminis, bahwa antara yang expert dan profane bersifat dapat ditembus (permeable).

Dari pengalaman perempuanlah kita membangun pengetahuan feminisme yang kemudian kita kembalikan kepada mereka. Dari penghayatan mereka terhadap pengetahuan ini (yang tadi kita kembangkan dari pengalaman mereka), kita hendaknya fleksibel untuk merombak ulang.

Sifat yang mudah ditembus dari pengetahuan feminis sebagai savoir expert terlihat jelas salah satunya dalam kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Masyarakat tradisional mengatakan bahwa suami yang kasar akan bertobat; doa istri adalah kuncinya.

Kelompok feminis mengharapkan perempuan korban KDRT segera meninggalkan suami pelaku kekerasan, tetapi apa yang diharapkan para istri? Mereka sudah lelah berdoa tapi juga tidak ingin berpisah. Mereka hanya ingin suami berhenti melakukan kekerasan.

Jika mereka melaporkan suami pelaku KDRT, tujuannya bukan untuk memenjarakan, tetapi untuk membuat jera. Dari kenyataan faktual inilah kelompok feminis memikirkan kembali penanganan yang lebih tepat.

Peran Media

Kini konseling pelaku kekerasan terhadap perempuan, restorative justice, dan elemen-elemen fundamental dalam penguatan psikis korban semakin banyak dibahas. Pengetahuan feminis mengenai KDRT mengalami modifikasi.

Fokusnya tidak lagi semata-mata pada korban, tetapi korban dan pelaku, baik sebagai pasangan maupun individu. Tidak mudah memang menjalani tantangan ini. Kita meyakini kebenaran pengetahuan yang kita sampaikan kepada perempuan.

Ketika pengetahuan ini tidak dapat dipahami seperti yang kita maksudkan, kita cenderung berpikir bahwa mereka memang sulit diubah. Sangat wajar sebetulnya jika kita gemas ketika orang yang kita ajak bicara tentang feminisme tidak paham-paham juga yang kita maksudkan.

Namun, kita harus berhati-hati dengan bahaya polarisasi kelompok: dua kelompok yang punya pandangan berbeda akan semakin tajam perbedaannya ketika masing-masing dengan teguh berusaha mempertahankan pandangan.

Kita yang “feminis” menganggap orang-orang tradisionalis sebagai bias gender, sementara mereka menganggap kita sesat terpengaruh budaya Barat. Di sisi lain, jika kita menyampaikan ide-ide feminisme pada mereka yang sudah paham, kegunaannya juga menjadi terbatas.

Akhirnya yang feminis ”semakin” feminis, yang patriarkis tetap patriarkis, karena tidak pernah terjangkau. Pertentangan antara kelompok patriarkat versus kelompok feminis pun akan semakin kuat.

Saya kira akan sangat baik jika kita yang paham feminisme mau menuliskan ide-ide feminisme dengan kalimat-kalimat sederhana di koran/majalah/situs yang umum, bukan hanya di koran/majalah/situs yang orientasinya feminis karena yang masuk ke situs-situs feminisme umumnya sudah melek gender.

Tantangan kita yang feminis justru adalah bagaimana agar yang awam juga bisa mengenal feminisme. Kita yang (pro) feminis sepertinya masih harus belajar untuk bisa menulis dengan bahasa yang lebih membumi dan menjangkau mereka yang belum terpapar isu ini. Media kiranya mau bekerja sama untuk menampung tulisan-tulisan dari kelompok yang menawarkan representasi polemik ini.

 



 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya