SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tulisan kali ini saya awali dengan kisah ekor dan kepala ular yang saling bertengkar soal siapa yang lebih berhak memimpin jalan. Ekor ular berkata kepada kepala ular, “Engkau selalu di depan, sungguh tidak adil. Sekali-kali aku yang memimpin jalan.” Kepala ular menjawab, “Tidak mungkin terjadi seperti itu. Sudah seharusnya aku yang menjadi kepala. Aku tak bisa bertukar tempat denganmu.” Perselisihan ini terjadi beberapa kali hingga suatu hari, karena kesal, ekor ular mengikatkan dirinya di batang pohon. Kepala ular tak bisa bergerak maju, dan akhirnya membiarkan ekor ular bergerak maju. Sialnya ekor ular tak bisa melihat ke arah mana mereka harus maju. Akhirnya ular itu jatuh kelubang yang dalam dan akhirnya mati.

Manusia yang tak pernah puas dengan miliknya akan selalu merasa iri dengan yang lain. Rasa iri dalam pikiran akan mencegah menikmati apa yang ada. Pikiran mementingkan diri sendiri ini muncul karena kemelekatan kita terhadap diri yang kekal, milik, dan status sosial. Ada pemikiran aku yang dihina, dicaci; ini miliku, ini punyaku; aku yang kuasa, aku yang tertinggi, aku yang senior dan lain sebagainya. Kemelekatan yang kuat terhadap semua itulah yang menyebabkan keakuan berkembang. Keakuan harus diwaspadai, kalau kita lengah, maka “aku” akan menjadi bahaya laten bagi kemajuan batin kita. Bentuk dari keakauan antara lain yaitu keangkuhan, kesombongan, memandang rendah manusia lain, keserakahan, iri hati dan lain sebagainya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Apa yang harus kita lakukan dengan “aku”? Tentunya mewaspadainya dan berusaha untuk mengikisnya. Selalu eling, waspada, dan berusaha berbuat dengan didasari kehendak baik adalah langkah awal untuk mengikis kekauan. Berbuat baik berarti manghadirkan semua unsur-unsur baik alam. Berbuat jahat berarti mengundang unsur unsur perusak. Seperti juga mereka yang hidup dalam jalan pedang akan mati di ujung pedang. Setiap pikiran jahat adalah pedang yang akan menikam balik manusia yang menghunusnya. Pada saat manusia menyadari fakta ini, semestinya ia menjadi takut untuk memelihara kejahatan dan pikiran-pikiran yang mementingkan diri sendiri. Dengan kebajikan yang tulus inilah akan mengisi batin kita dengan kekuatan yang positif sehingga keakuan akan terkikis dalam batin kita.

Dengan selalu waspada, manusia akan menyadari bahwa tak ada manusia lain di luar dirinya yang mempunyai kekuatan atau cara untuk merusak kedamaian dan keseimbangan batinnya. Ketika membandingkan dirinya dengan manusia lain, ia menciptakan kesusahan bagi dirinya sendiri, dengan menganggap ia memiliki lebih sedikit atau manusia lain lebih berhasil dibandingkan dirinya. Tak ada manfaat yang diperoleh dengan menyebarkan kecemburuan, yang sering merupakan sebab dari perpecahan di dunia ini.

Kita harus terus menerus waspada, setiap kali pikiran negatif muncul, kita harus berusaha menggantikannya dengan pikiran yang positif. Kita tetap sadar terhadap apa yang masuk dan keluar dari pikiran. Melalui proses kewaspadaan yang perlahan-lahan ini, kita akan bisa memeriksa dan membuang pikiran negatif. Setelah mengetahui bahwa keakuan merupakan bahaya laten yang akan menghambat kemajuan batin kita, maka kita harus terus-menerus melatih diri untuk mengikisnya. Waspada setiap saat adalah kunci untuk mengikis kekuatan keakuan.

“Manusia yang mementingkan dirinya sendiri berarti menodai diri sendiri.” (Khuddhaka Nikaya. Sutta Nipata)

Oleh:

Sutikyanto

Bhikkhu Sasanabodhi Thera

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya