SOLOPOS.COM - Meski terjadi insiden banjir lahar hujan menewaskan dua penambang tapi belasan truk dan puluhan penambang pasir manual masih beroperasi di Gendol, Dusun Jambong, Kepuhharjo, Cangkringan, Senin (20/1/2014). (JIBI/Harian Jogja/Sunartono)

Tambang pasir Merapi mendapat perhatian pemerintah pusat.

Harianjogja.com, SLEMAN — Praktik penambangan pasir yang merusak lingkungan di wilayah Merapi sudah sampai ke tangan pemerintah pusat. Bahkan, Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dikabarkan menangani langsung kasus penambangan illegal tersebut dengan UU.No4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Baca Juga : TAMBANG PASIR MERAPI : Bareskrim Polri Awasi Penambangan Ilegal

Ekspedisi Mudik 2024

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sleman Purwanto menjelaskan, proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun swasta seperti rumah, gedung, sarana perkantoran, apartemen maupun hotel, memang membutuhkan bahan baku pasir. Hanya saja, kata dia, penyediaan bahan baku tersebut haruslah dilakukan secara legal.

“Kalau proses penyediaannya dilakukan secara legal, memiliki izin itu tidak masalah. Sebab, eksploitasi yang dilakukan harus memenuhi beberapa tahap dan persyaratan,” katanya, Kamis (12/1/2/2017)

Dia menjelaskan, sebelum penambangan dilakukan terlebih dulu dilakukan eksplorasi atau penyelidikan. Artinya, ada kelengkapan administrasi terlebih dulu, ada juga tahapan perencanaan eksploitasi yang akan dilakukan. Misalnya, berapa kubik yang akan diambil, berapa ke dalaman tanah, berapa luasan dan sebagainya. Termasuk, penjelasan terkait dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan.

“Makanya setiap penambangan harus memiliki dokumen lingkungan,” ucapnya.

Jika penambang melakukan eksploitasi besar-besaran, maka mereka diwajibkan menyusun AMDAL. Jika eksploitasi dilakukan di atas 500.000 meter perkubik pertahun, maka penambang harus menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Sebaliknya, jika eksploitasi hanya dilakukan di bawah 500.000 meter perkubik pertahun, cukup membuat Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL).

“Kalau semua syarat adminstrasinya lengkap, izinnya keluar, baru dapat dilakukan eksploitasi. Setelah eksploitasi selesai, ada kewajiban lain bagi penambang untuk melakukan reklamasi atau pemulihan kembali. Tetapi banyak yang ngawur, selesai ditambang langsung pergi,” jelasnya.

Peralihan wewenang tentang pertambangan dari kabupaten ke propinsi, katanya, cukup merepotkan aparat di daerah. Di sisi lain, aktivitas penambangan terus belangsung tanpa izin sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Padahal, sesuai UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perda Sleman No.1/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan menyebutkan, barang siapa sengaja merusak lingkungan dapat dikenai sanksi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya