SOLOPOS.COM - Sebuah truk tengah menunggu giliran pengisian pasir dari lokasi penambangan ilegal di sisi selatan JJLS, tepatnya di Dusun Ngepet Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kamis (9/2) sore. (Harian Jogja/Arief Junianto)

Tambang ilegal di Bantul semakin nekat

Harianjogja.com, BANTUL–Tak kunjung mendapatkan perhatian dari pihak terkait, praktik penambangan pasir ilegal yang terjadi di Kecamatan Sanden semakin meluas.
Bahkan praktik ilegal itu kini tak hanya merambah sisi utara Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) saja, melainkan hingga ke sisi selatannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dari pantauan Harianjogja.com, setidaknya ada sejumlah titik penambangan dengan luasan total mencapai 1 hektar lebih yang tersebar di sepanjang sisi selatan JJLS, tepatnya di Dusun Ngepet Desa Srigading Kecamatan Sanden.

Salah seorang petani penggarap lahan di sekitar lokasi tambang itu mengaku geram dengan ulah para penambang yang dengan brutal melakukan penambangan pasir di sekitar lahan pertanian. Pasalnya, akibat penambangan itu, serapan air yang seharusnya lancar menjadi terganggu.

“Sekarang, hujan sedikit saja, lahan saya pasti tergenang air,” kata petani yang enggan disebutkan namanya itu saat ditemui di lokasi sekitar tambang, Kamis (9/2/2017) sore.

Ia pun menyayangkan lemahnya pengawasan pihak terkait. Pasalnya, jika terus dibiarkan, ia khawatir lahan miliknya akan terkena gerusan dari penambangan itu juga. “Di sisi utara jalan [JJLS] sudah cukup mengkhawatirkan, la kok ini malah pindah lagi di dekat lahan milik saya [di selatan JJLS],” gerutunya lagi.

Petani lainnya yang juga tak bersedia disebutkan namanya pun demikian. Jika hujan deras, lahan miliknya bisa tergenang air hingga sepekan lamanya. Padahal sebelum adanya penambangan, genangan saat hujan deras itu hanya terjadi beberapa jam saja.

Terkait hal itu, Kepala Desa Srigading Wahyu Widodo mengaku, praktik penambangan di sisi selatan JJLS memang baru-baru ini saja dilakukan. Penambangnya pun diakui Wahyu bukanlah warga Srigading. “Kebanyakan warga [desa] Gadingharjo. Sekitar 4 bulan lalu kalau tidak salah,” kata Wahyu saat ditemui secara terpisah di rumahnya.

Selaku kepala desa, ia pun tak kalah geram dengan tingkah polah para penambang itu. Namun, lantaran terbentur kewenangan, ia pun tak kuasa untuk berbuat apa-apa. “Kalau saya dijamin tak akan diperkarakan, sudah saya bubarkan praktik itu,” geramnya.

Ia menegaskan, selain ilegal dan berdampak buruk pada lahan-lahan pertanian,  penambangan ilegal itu juga dilakukan di atas tanah Sultan Grond (SG). “Selama ini mereka hanya mengklaim bahwa tanah itu milik mereka secara turun temurun,” tegas Wahyu.

Diakuinya, pihak aparat sebenarnya telah melakukan penertiban dengan menutup lokasi  penambangan yang ada di sisi utara JJLS sekitar dua pekan lalu. Sedangkan yang di sisi selatan, sampai ini belum sekali pun disentuh petugas. Meski begitu, kenyataannya, saat ini di lokasi yang semula ditutup petugas kepolisian itu, kini sudah kembali beroperasi.

Ia menambahkan, tarif sewa dan beli putus lahan di sisi selatan JJLS itupun berbeda dengan yang di sisi utara. Jika di sisi utara harganya berkisar Rp5-10 juta untuk sekitar 2.000 meter persegi lahan pasir, di sisi selatan bisa mencapai lebib dari Rp40 juta untuk lahan per 1 RU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya