SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Christopher Reeve, adalah aktor utama dalam film Superman. Ia memulai karirnya dalam dunia akting,  lewat suatu opera sabun televisi yang berjudul Love of Life. Selanjutnya banyak film dibintanginya antara lain A Matter of Gravity, Gray Lady Down,  dan Somewher in Time. Namun film-film itu tidak terlalu mengangkat namanya. Bahkan dia nyaris tidak begitu dikenal di Hollywood saat terpilih dari antara 200 kandidat untuk menjadi pahlawan super dalam film Superman yang diproduksi tahun 1978.  Perannya untuk menjadi Superman, merupakan keberuntungan baginya. Lewat film inilah namanya melambung dan popularitasnya dalam dunia akting mencapai puncaknya.  Di sana ia berperan sebagai  wartawan bernama Clark Kent, yang dapat berubah menjadi super hero yang mampu terbang.

Apakah dalam realitas hidup ia seorang yang super? Ternyata tidak! Pada tahun 1995, ia yang punya hobi berkuda itu mengalami kecelakaan saat kuda yang ditungganginya terjatuh dan menindih tubuhnya. Dua tulang lehernya di bagian belakang patah dalam musibah di Commonwealth Park Virginia, itu. Sejak saat itu dia lumpuh dan sama sekali tidak bisa berjalan, apalagi terbang. Hidupnya sama sekali tergantung pada kursi roda. Sabtu, 9 Oktober 2005 dia mengalami koma dan pada Minggu meninggal dunia. Christopher Reeve yang dalam film tampak perkasa dan sanggup terbang mengangkasa seperti Gatutkaca, meninggal konon karena serangan jantung! Ia terkulai di kursi rodanya! Ia yang tampak gagah, terkulai lemah.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Kisah ini menunjukkan bahwa seringkali realitas hidup jauh berbeda dengan dunia fiksi atau mimpi. Sehebat-hebatnya manusia, ia tetap seorang makhluk yang rapuh dan terbatas. Manusia tidak pernah akan sanggup mengatasi segala persoalan hidup hanya berdasarkan kekuatan, kemampuan dan kepandaiannya sendiri. Superman yang bisa terbang ternyata kejatuhan kuda saja sudah tidak berdaya. Dan tentu saja keterbatasan setiap manusia akan mencapai puncaknya manakala ia dihadapkan pada apa yang namanya kematian. Tidak ada seorangpun yang sangguh mengatasinya, tidak ada seorangpun yang sanggup menolaknya bahkan tidak ada seeorangpun yang sanggup menundanya. Christopher sang bintang Superman itu mati dalam usia yang relatif masih muda, 52 tahun.

Kesadaran bahwa kita hanyalah seorang makhluk ciptaan yang rapuh dan terbatas bisa membawa kita pada rasa pesimis dan ketakutan mendalam menghadapi hidup, apalagi di saat hidup terasa gersang dan menantang. Bukankah setiap hari kita menyaksikan atau membaca dalam mass media kisah-kisah tragis terkait dengan pesimisme hidup ini? Satu kasus yang masih hangat terjadi Rabu kemarin. Diberitakan, Tri Setiono , 21 tahun, seorang siswa yang tidak lulus Unas, mengalami stres dan terjun ke sumur berkedalaman 15 meter di samping rumahnya kawasan Tanjungsari, Banyumanik, Semarang. Pagi harinya ia diketemukan oleh Saban, orangtuanya, dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Ia mati dalam usia muda.

Injil kita hari ini berkisah tentang hal yang sama yaitu kerapuhan dan ketidakberdayaan manusia. Yang menarik adalah bahwa kerapuhan insani itu tidak ditanggung sendiri melainkan dihadapkan pada kekuatan adikodrati atau diserahkan kepada Yang Ilahi. Yairus, tokoh yang dikisahkan dalam Injil, adalah simbol dari kita semua yang dalam kerapuhan mendamba Sang Mahakuat. “Anakku perempuan sedang sakit, hampir mati. Datanglah kiranya dan letakkanlah tanganMu di atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup.”, begitulah keluh dan pinta Yairus kepada Yesus. 

Tanpa mengulur waktu, Yesus bertandang ke rumah Yairus. Hal pertama yang Ia lakukan adalah menghibur mereka yang sedang berduka atas kematian anak Yairus. “Mengapa kamu ribut dan menangis? Anak itu tidak mati, tetapi tidur!”, kata Yesus. Selanjutnya Ia memegang tangan anak itu seraya berkata, “Talita kum,” yang artinya, “Hai anak, Aku berkata kepadamu: Bangunlah!” Dan seketika itu juga anak itupun bangkit berdiri dan berjalan.

Kisah ini memberi inspirasi kepada kita. Pertama seperti Yairus, kita diundang untuk senantiasa menyalakan pengharapan dalam hidup. Memang kehidupan kadang keras dan tak bersahabat. Persoalan bisa datang bertubi tanpa kompromi. Namun kita mesti berani menghadapi. Belajar pada Yairus, ia meratapi hidup pada alamat yang tepat yakni Dia Sang Mahakuat, yang sanggup bertindak dan mengatasi segala persoalan. “With God all things are possible” kata Grant Taylor, dalam film Facing The Giant.

Kedua seperti Yesus, kita juga diundang untuk membangun sikap empati pada sesama yang sedang berbeban. Yesus berkunjung ke rumah Yairus yang sedang berduka. Ia menghibur mereka yang menangis. Dan kepada yang sedang terkulai, ia berkata “Talita kum!”, bangkitlah!

Kalau kita membuka mata hati, maka akan tampaklah begitu banyak orang yang sedang terkulai di sekitar kita. Mereka lemas terbeban kemiskinan, mereka menangis oleh sakit penyakit yang mendera, mereka stres memikirkan masa depan yang gelap. Kepada mereka kita diutus untuk menyampaikan salam “Talita kum”. Artinya, memberikan hati kita dan melakukan segala yang bisa kita buat untuk membantu meringankan beban. “Talita kum” adalah suatu sikap dan semangat untuk mengeringkan air mata bagi mereka yang sedang menangis dan membuka selubung serta menyinarkan fajar pengharapan masa depan bagi mereka yang sedang meringkuk dalam gelap terbelit oleh berbagai persoalan.

Kalau hari ini, kita adalah orang yang sedang meringkuk dan terkulai layu, maka mari kita membuka telinga hati lebar-lebar. Dengarkanlah, Dia sedang di samping kita, Dia menepuk pundak kita seraya berbisik: “Talita kum!”, bangkitlah!

Oleh Rm. C. Yan Priyanto, SJ
Guru dan pendidik di SMA Kolese De Britto Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya