SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak dengan autis (lecese.fr)

Anak penyandang autisme berpotensi bisa disembuhkan dengan penanganan serta terapi yang tepat. Para orang tua diminta tak khawatir.

Solopos.com, SOLO—Anak-anak tersebut bahkan tidak harus mengenyam pendidikan di sekolah inklusi, melainkan bisa di sekolah reguler.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal tersebut mengemuka dalam kegiatan Pelatihan Penanganan Anak Autis yang diselenggarakan UPT Pusat Layanan Autis (PLA) Solo di Hotel Loji Solo, Selasa (25/7/2017). Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber psikiater, Kresno Mulyadi.

Ekspedisi Mudik 2024

Dalam paparannya, motivator anak yang akrab disapa Kak Kresno tersebut menyampaikan ada perbedaan antara penyandang autisme dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Tunagrahita, tunadaksa, dan beberapa ketunaan lainnya relatif menetap dan biasanya menempuh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB).

Sebaliknya penyandang autisme pada dasarnya bisa bisa sembuh seperti anak-anak lainnya. “Dengan kemampuan verbal. Mereka dan tempatnya pun bukan di sekolah khusus, sekolah inklusi, yang justru seakan-akan memanjakan mereka. Tapi, mereka bisa bersekolah di sekolah reguler,” kata dia.

Kresno menyebutkan lima kebutuhan anak penyandang autisme yang perlu diperhatikan lebih ekstra oleh orang tua maupun keluarga. “Dalam mengasuh dan merawat anak dengan autisme, kunci utamanya adalah empati,” kata dia.

Kebutuhan pertama penyandang autis adalah komunikasi. Orang tua perlu bersabar dan tidak menekan anak. “Ajak anak bicara pelan-pelan, beritahu anak apa maksud Anda. Saat berkomunikasi, bisa jadi anak sedang berimajinasi sehingga ia tidak menangkap pesan Anda saat itu. Jadi bersabarlah,” jelas dia.

Kedua adalah sosialisasi. Pada anak dengan autisme berat, ia cenderung menyendiri sedangkan anak dengan autisme ringan cenderung memberi kesan ia pilih-pilih terhadap sesuatu. Kak Kresno meminta orang tua tidak memberi label kepada anak.

Ketiga terkait emosi. Kresno mengatakan anak penyandang autisme memiliki emosi yang labil. Orang tua harus memahami emosi anak. Perlakuan orang tua atau keluarga yang keliru atas emosinya akan sangat berdampak. “Dengan tidak memahami emosi, tidak berempati atas emosi anak autis, konsep dirinya akan jatuh,” jelas Kak Kresno.

Keempat adalah repetitif di mana anak penyandang autisme cenderung melakukan sesuatu yang disenanginya secara berulang. Lagu yang disukainya diputar berulang kali. Makanan yang disukainya pun akan terus-menerus dikonsumsi setiap kali ia lapar. Pakaian yang disenanginya akan terus dipilihnya sehingga perlu dicuci berulang.

Kelima adalah persepsi. Dia menjelaskan anak autis kerapkali tidak nyaman dengan penginderaannya. Ia tak menyukai suara tertentu yang didengarnya. Matanya tak nyaman saat memandang sinar tertentu. Orang tua perlu berempati dan memahami kondisi tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya