SOLOPOS.COM - Jessica Wongso di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (20/1/2016). Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum memeriksa Jessica terkait kematian Wayan Mirna Salihin yang meninggal dunia karena sianida dalam es kopi Vietnam yang diminumnya di Olivier Cafe Grand Indonesia. (JIBI/Solopos/Antara/dok)

Pledoi Jessica Wongso mencapai 3.000 halaman, lebih panjang dan tebal dari berkas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Solopos.com, JAKARTA — Nota pembelaan atau pledoi Jessica Kumala Wongso akan dibacakan dalam sidang ke-28 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (12/10/2016) siang. Seolah tak kalah dengan nota tuntutan JPU yang juga panjang, pledoi ini sangat panjang dan terdiri atas 3.000 halaman sehingga tak mungkin bisa dibacakan seluruhnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Menurut pengacara Jessica, Otto Hasibuan, pledoi ini adalah yang terpanjang sepanjang kariernya sebagai pengacara. Karena itu, dia akan meminta izin untuk hanya membacakan poin-poin penting dalam pledoi tersebut.

“Ini pledoi yang paling panjang yang pernah saya buat. Kalau dibacakan semua, bisa seminggu [sepekan] bacanya. Jadi, kalau bisa, kami akan bacakan poin-poinnya saja,” kata Otto saat dihadirkan TV One live dari luar ruang persidangan PN Jakarta Pusat, Rabu. Baca juga: Jessica Dituntut 20 Tahun Penjara.

Otto mengklaim bukan dirinya yang membuat kasus ini jadi ribet. Pledoi ini jadi panjang karena konstruksi tuntutan jaksa yang juga panjang pekan lalu.

“Ini kasusnya enggak ribet sebenarnya, tapi dibikin ribet. Nalar mereka lompat, seharusnya kalau pembunuhan seperti ini, maka hal pertama adalah autopsi. Untuk menentukan sebab kematiannya apa? Kalau belum diketahui matinya apa, tapi sudah dicari pelakunya, akhirnya jadi ribet kan,” kata Otto. Baca juga: Keluarga Mirna Tak Terima Jessica Cuma Dituntut 20 Tahun.

Menurutnya, teman-temannya juga sempat menyinggung panjangnya pledoi tersebut yang mencapai 3.000 halaman. “Ada beberapa teman katakan ke saya, dan tim saya, ngapain kita bikin pledoi panjang-panjang, bikin aja satu lembar. Tapi kita ikuti alurnya jaksa.”

Ini kasusnya enggak ribet sebenarnya, tapi dibikin ribet. Nalar mereka lompat, seharusnya kalau pembunuhan seperti ini, maka hal oertama adalah autopsi,. untuk menentukan sebab kematiannya apa. Kl belum diketahui matinya apa, tapi sudah dicari pelakunya. akhirnya jadi ribet kan. ada beberapa teman katakan ke saya, dan tim saya, ngapain kita bikin pledoi panjang-panjang, bikin aja satu lembar. Tapi kita ikuti alurnya jaksa.

Otto tak hanya menyinggung jaksa, tapi juga keluarga Wayan Mirna Salihin yang sempat menolak autopsi. Dia pun menggunakan dalil tersebut untuk menolak dakwaan dan tuntutan hukum terhadap Jessica.

“Waktu Krishna Murti bilang ke ayahnya Mirna, ‘anakmu mati karena tidak wajar, you harus otopsi lho, kalau ga ada otopsi, no crime’. Jadi polisi pun tahu kalau tanpa autopsi tidak ada crime,” ujarnya.

Seperti argumentasinya sebelumnya, Otto pun masih menggunakan faktor ketiadaan autopsi penuh dan barang bukti no IV berupa cairan lambung Mirna yang negatif ion sianida. Dia menuding jaksa tidak bisa memastikan penyebab kematian Mirna sehingga membuat teori yang mundur ke belakang.

“Akhirnya, jaksa membuat teori yang menurut saya mundur, yaitu teori psyognomy dari abad ke 6 SM. Kalau dulu orang membunuh, cukup dilihat, cukup panggil ahli psyognomy. Nah sekarang kalau itu dipakai, buang aja itu semua. Itu menurut saya menyedihkan. Masa gara-gara kita harus menghukum seseorang, kita harus mundur ke belakang.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya