SOLOPOS.COM - Sejumlah lurah/kepala desa di Kecamatan Wonogiri dan Selogiri mengikuti Sosialisasi Desa Wisata di Ruang Girimanik, Kompleks Sekretatiat Daerah Wonogiri, Selasa (18/10/2022). Pembentukan dan pengembangan desa wisata di Wonogiri masih terkendala SDM yang kompeten. (Solopos.com/Muhammad Diky Praditia)

Solopos.com, WONOGIRI — Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri mendorong desa-desa di Wonogiri menjadi desa wisata.

Kendati demikian, jangan sampai pembentukan desa wisata menimbulkan masalah baru di internal desa alih-alih menyejahterakan warga desa. Desa tidak perlu memaksa diri jika sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) di desa tersebut tidak memadai.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sub Koordinator Pengembangan Daya Tarik Wisata Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Jawa Tengah, Riyadi Kurniawan, mengatakan pada umumnya desa wisata di Jawa Tengah dan Wonogiri pada khususnya masih mengandalkan bentang alam sebagai destinasi wisata utama. Lima dari enam desa wisata di Wonogiri berbasis alam. Sementara satu desa wisata berbasis kesenian atau budaya.

“Memang di Jawa Tengah dan di Wonogiri ini diuntungkan dengan bentang alam dan kesenian Jawa yang bisa dimanfaatkan sebagai desa wisata. Tapi bukan berarti desa lain yang tidak memiliki potensi wisata alam atau kesenian tidak bisa menjadi desa wisata. Mereka bisa memanfaatkan sumber daya lain di desa untuk dijadikan sebagai potensi wisata,” kata Riyadi saat berbincang dengan Solopos.com di Ruang Girimanik, Kompleks Sekretariat Daerah Wonogiri, Selasa (18/10/2022). 

Riyadi menjelaskan banyak desa di Jawa Tengah yang berlomba ingin menjadi desa wisata tapi dengan cara memaksakan diri dengan menghadirkan atau mengadakan sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi potensi desa.

Misalnya, ada desa yang membangun kolam renang atau kolam keceh sebagai wisata. Padahal di tempat tersebut tidak banyak memiliki sumber daya air.

Tidak jarang pula ditemui suatu desa hanya meniru dan mengamati desa wisata lain tanpa memodifikasi sehingga tidak ada kebaruan dan perbedaan.

Akhirnya pengembangan desa wisata itu mandek dan mangkrak karena tidak pengunjung. Kasus semacam itu biasa terjadi lantaran pemerintah dan pengelola wisata berpikiran bahwa desa wisata harus berbasis alam atau suatu wahana bermain berbasis alam.

“Padahal desa wisata itu tidak harus berbasis alam. Desa wisata itu sifatnya fleksibel bergantung dengan keadaan, kondisi, dan kearifan lokal masing-masing desa. Misalnya, desa itu bisa menjual paket wisata kehidupan desa seperti menggembala kambing atau aktivitas mata pencaharian lain warga desa. Kemudian didukung dengan hal lain, seperti adanya homestay dan akomodasi penunjang lain sehingga tercipta ekosistem desa wisata,” ujar dia.

Riyadi menjelaskan desa harus mampu membedakan desa wisata dan wisata desa. Keduanya berbeda. Wisata desa adalah bentuk kegiatan wisata yang membawa wisatawan pada pengalaman untuk melihat dan mengapresiasi daya tarik wisata alam atau budaya buatan yang ada di desa.

Sedangkan desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara potensi daya tarik wisata alam, budaya, dan wisata hasil buatan manusia dalam satu kawasan tertentu. Kawasa itu didukung dengan adanya atraksi, akomodasi, dan fasilitas lain sesuai dengan kearifan lokal masyarakat desa.

“Kalau wisata desa itu kunjungan pada satu daya tarik wisata. Biasanya ada tiket atau karcis dan bisa dikelola siapa saja, termasuk perseorangan. Cakupan pengembangannya terbatas pada satu daya tarik wisata itu saja.  Kalau desa wisata, kunjungannya berupa rangkaian kegiatan paket wisata. Kemudian dikelola masyarakat melalui kelompok atau lembaga. Cakupan pengembangannya seluruh usaha pariwisata pada kawasan tersebut,” jelas Riyadi.

Sementara itu, Kepala Seksi Pariwisata Disporapar Wonogiri, Panggah Triasmara, mengatakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri mendorong desa-desa untuk menjadi desa wisata.

Namun, tidak mungkin semua desa di Wonogiri menjadi desa wisata. Hanya desa yang memiliki potensi wisata dan SDM pengelola yang akan digandeng dan dibina menjadi desa wisata.

Saat ini ada enam desa wisata di Wonogiri yang masih dalam kategori rintisan atau paling rendah paling rendah dari total empat kategori yang ada. Empat kategori desa wisata itu adalah rintisan, berkembang, maju, dan mandiri. SDM pengelola desa wisata masih menjadi faktor utama mengapa desa wisata sulit berkembang.

“Memang mayoritas desa wisata di Wonogiri berbasis alam. Tapi sebenarnya desa wisata itu enggak harus berbasis alam. Sebenarnya ada dua desa wisata yang di Wonogiri yang menurut kami sudah masuk kategori berkembang, satu Desa Wisata Conto (berbasis alam di Kecamatan Bulukerto) dan Desa Wisata Kepuhsari (berbasis budaya di Kecamatan Manyaran). Desa bisa menggali potensi wisatanya, tidak harus berbasis alam seperti di Kepuhsari,” ungkap Panggah.

Tujuan dari desa wisata adalah menyejahterakan masyarakat desa. Melalui desa wisata diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan sehingga meningkatkan taraf perekonomian warga desa. Jangan sampai pembentukan desa wisata justru menimbulkan masalah baru di desa lantaran pemerintah desa dan pengelola tidak paham desa wisata dan tidak saling bersinergi.

“SDM pengelola juga masih menjadi kendala dalam tumbuh kembang desa wisata. Ada beberapa desa yang memiliki potensi desa wisata, tapi SDM-nya tidak ada. Kalau seperti itu kami belum berani menggandeng karena faktor utama kesuksesan desa wisata itu terletak pada SDM pengelolanya. Pemerintah desa bisa saja tidak mengurusi, asal pengelolanya oke, baik, enggak masalah. Tetap bisa jalan,” ucap dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya