SOLOPOS.COM - Suharno, guru di Kota Jogja yang saat ini menjabat sebagai Kepala SMPN 5 Jogja. (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Seorang guru di Kota Jogja berkali-kali membubarkan geng pelajar.

Harianjogja.com, JOGJA— Geng pelajar bukan sekadar fiksi di Kota Pendidikan. Gerombolan ini seringkali datang dan pergi dengan sejumlah kasus kekerasan. Ketegasan guru dan sekolah sangat dibutuhkan untuk melenyapkan mereka yang acap bikin onar. Seorang guru di Kota Jogja berkali-kali membubarkan geng pelajar dengan segala risiko yang dia hadapi. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Sunartono.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Syahdan, medio tahun ajaran 2007-2008, Suharno baru saja masuk ke dalam ruangan ketika tiba-tiba didatangi seorang anak didiknya. Dengan pongahnya, siswa itu menolak isi pidato yang disampaikan Suharno saat upacara. Ketika itu, pria kelahiran Sleman 1958 tersebut menjabat sebagai Kepala SMPN 9 Kota Jogja. Dalam ceramahnya di depan guru dan murid, Suharno membubarkan geng pelajar. Suharno terpaksa melayani adu argumen dengan siswa yang tak terima kelompok bergaulnya ditiadakan

“Waktu itu saya sampaikan, enggak ada yang namanya geng BTV [Barat Tom Silver] di sini. Ketua gengnya marah, mendatangi saya di ruangan, menyampaikan kalau geng itu dibentuk untuk membela sekolah kalau ada serangan,” ucapnya saat berbincang dengan Harian Jogja belum lama ini.

Pembubaran itu bukan tanpa alasan. Menjelang senja ketika langit berkelir lembayung, Suharno tiba di teras rumahnya di Dusun Celungan, Sumberagung, Moyudan, Sleman. Baru saja kaki kirinya menjejak standar motor, ponselnya berdering tanpa henti. Nomor anggota Polsek Kotagede, Polresta Jogja terlihat di layar. Dari ujung telepon, suara seorang pria mengabarkan siswa yang terlibat tawuran diringkus polisi. Suharno diminta datang ke Polsek untuk turut bertanggung jawab.

Masih berpakaian dinas, ia hanya melepas sepatu dan berganti sandal kemudian kembali memacu pedal gas motor menuju Kota Jogja yang jaraknya sekitar 20 kilometer. Setibanya di Polsek, ia mengecek satu per satu siswa yang diciduk. Ia mengenali satu muridnya yang menjadi anggota geng BTV.

Sebagai pendidik, Suharno berinisiatif memberikan efek jera. Ia meminta kepada salah satu bintara polisi yang kebetulan pernah menjadi muridnya di SMPN 14 Jogja memasukkan satu siswanya ke dalam sel. Bocah bengal itu juga diberi baju tahanan. Suara tangisan dari anak nakal yang barusan ikut tawuran memenuhi seluruh Makopolsek. Akhirnya dia dilepaskan dan dibawa ke sekolah, membonceng motor Suharno jelang malam. Di sekolah, bocah itu masih berbohong, bilang bahwa orang tuanya berada di luar kota.

Tak kehilangan akal, Suharno membongkar dokumen hingga mendapatkan data nomor ponsel wali siswa. Dia meminta orang tua remaja itu datang ke sekolah, menjemput anaknya yang terlibat perkelahian massal dan sudah dibebaskan polisi.
“Anak itu dimarahi, mau dipukuli, saya lerai. Saya sampaikan, ‘Bapak mau enggak berbuat baik sama anaknya demi kebaikan kita bersama?’ Setelah kejadian itu anak ini lama-lama menjadi baik, tekun,” ujar dia.

Suharno juga berpengalaman menangani geng Scooter atau SCTR saat memimpin SMPN 8 dari 2011 hingga 2016. Dalam catatannya, nyali anggota geng di sekolah ini tak segede BTV. Untuk menggerus gerombolan ini, ia sering memantau tongkrongan anggotanya secara sembunyi-sembunyi, kemudian memotret dari kejauhan. Kebiasaan itu dilakukan Suharno sepulang kuliah S3 di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada malam hari. Setelah mendapatkan foto siswa yang berkelimun, keesokan harinya murid-murid itu diidentifikasi lalu dipanggil untuk diberi wejangan. Anggota geng pelajar kemudian disodori dua pilihan; tetap aktif di geng atau rajin menuntut ilmu. Jika memilih bersetia di geng, murid harus keluar dari sekolah. Begitu juga sebaliknya.

Melemahkan Geng
“Semua sekolah yang saya pegang gengnya saya lemahkan lebih dulu, termasuk di sini [SMPN 5 Jogja],” ucap Suharno.
Ia tidak menampik di SMPN 5 Jogja ada geng yang berkembang, dikenal dengan sebutan DKZ atau Depan Kridosono. Bersama guru bimbingan konseling, ia pernah meminta segerombol murid untuk tidak lagi mengenakan kaus-kaus identitas geng. Akhirnya, 20 potong kaus disita dan disumbangkan kepada tukang becak. Pria yang menggeluti teknologi pendidikan ini meyakini publikasi identitas geng dalam bentuk apa pun akan memicu tantangan kelompok lain sehingga dapat memperkeruh hubungan pelajar antarsekolah.

Suharno mengaku mampu menghafal nama geng dan tempat nongkrong hampir semua sekolah di Kota Jogja baik SMP maupun SMA. Maklum, ia telah menjadi guru sejak 1985; memimpin empat SMP dan berpuluh tahun menjadi guru di tiga sekolah. Pada 2009 Dinas Pendidikan Kota Jogja mempromosikan Suharno untuk memegang sebuah kedudukan, namun jabatan itu dinilai tak sesuai dengan karakternya sebagai guru.

Ia kemudian memilih kembali ke sekolah meski turun jabatan dengan hanya menjadi guru teknologi informasi dan komunikasi sebelum perlahan kembali diangkat menjadi kepala sekolah. Pada 2014, ia ditetapkan sebagai kepala sekolah berprestasi skala nasional yang mengantarkannya belajar tentang pendidikan menengah di berbagai negara di Asia dan Eropa. Satu setengah tahun jelang pensiun, atau Februari 2017, pria ini mengkhatamkan pendidikan dengan memperoleh gelar Doktor Teknologi Pendidikan di UNY.

Dia jengah karena Kota Pendidikan sering dicoreng keberadaan geng pelajar. Guru dan kepala sekolah, menurut Suharno, harus berani untuk membubarkan. Kebiasaan pendidik yang sering menutup-nutupi gerombolan remaja dugal di sekolah dianggap kurang bijak. “Di Kota Jogja, sekolah yang tidak ada gengnya hanya SMAN 1.” tegas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya