SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Alkisah, ketika berlangsung penggalian situs sebuah sekolah yang tertimbun lahar gunung berapi selama ratusan tahun, ditemukan banyak kerangka yang terserak di sana-sini. Para peneliti hanya ingin memilahkan kerangka guru dan murid.

Seorang ahli forensik dengan gampang bisa membedakannya, hanya dengan mengenali satu organ tubuh yang masih utuh di setiap kerangka. Organ yang tidak pernah dipakai selama hidupnya pasti masih utuh meskipun telah menjadi kerangka.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Yang lidahnya masih utuh pasti kerangka murid, karena selama hidupnya tidak diberi kesempatan untuk bicara, apalagi di dalam kelas. Lha, yang masih utuh telinganya bisa dipastikan itu guru, karena tidak pernah mau mendengarkan.

Ekspedisi Mudik 2024

Kisah antah-berantah di atas tidak perlu dihubung-hubungkan dengan cerita nyata ini. Sewaktu memasuki masa pensiun dan sembuh dari sakit, Profesor Winarno Surakhmad, seorang pendidik dan pakar pendidikan mengungkapkan refleksinya, “Saya mulai belajar mendengarkan setelah 52 tahun selalu didengarkan.” Atas ungkapan tersebut saya membayangkan sebuah perjuangan batin yang tidak gampang dilakukan Pak Winarno. Sebagai orang yang biasa di dengarkan, entah di kelas, forum akademis, maupun relasi birokrasi, kini harus takzim mendengarkan istri, keluarga, bahkan dokternya sendiri.

Bisa jadi refleksi tersebut sebagai bentuk ungkapan kerendahan hati. Kesadaran untuk belajar dan mau mendengarkan kiranya telah menjadi nilai positif. Terbersit pertanyaan kecil, apakah belajar mendengarkan harus menunggu saat pensiun?

Teman-teman guru sebaya saya, yang dua puluh tahun mendatang akan pensiun, tidak tahan menonton murid-muridnya tampil di pentas, karena dirinya biasa menjadi pusat perhatian. Mereka yang membimbing guru muda yang praktik mengajar pun tidak mau bertahan di dalam kelas mengikuti setiap perkembangan mahasiswa bimbingannya, karena lebih suka menjauh dari kelas atau pergi mangkir.

Belajar mendengarkan
Betapa gampang para guru meminta murid-muridnya untuk diam, entah dengan bentakan atau teguran halus. Namun, dalam forum yang menghadirkan para guru sebagai pendengar, tidak bisa mengandaikan mereka bisa menempatkan diri alias empan-papan. Bahkan, untuk mendengarkan atasannya sendiri pun tidak gampang. Omong terus dengan sesama di sebelahnya yang juga defisit perhatian adalah sebentuk pelarian paling nikmat. Belum lagi di kelas dalam keseharian yang selalu menciptakan komunikasi satu arah, guru bicara – murid dengar, jarang terjadi proses timbal-balik.

Dalam kurikulum pelajaran bahasa ada aspek pembelajaran mendengarkan. Anak-anak kita mengalami mendengarkan secara langsung kelisanan dari gurunya atau lewat perangkat audio-visual. Namun, perangkat pembelajaran tersebut tidak cukup untuk membangun kebiasaan mendengarkan sebagai bentuk penghargaan kepada orang lain. Pengalaman di kelas, saya mesti memulai forum kelas dengan kalimat, ”Pada detik yang sama hanya satu orang bicara.”

Artinya, siapa pun yang berbicara harus dihargai dan didengarkan. Kalaupun murid yang bicara di kelas, guru mestinya membuka telinga dan hati untuk suara mereka. Pesan tersebut berulang-ulang mesti disampaikan kepada anak-anak kita.

Tidak jarang terdengar keluhan guru yang menyebut murid di kelas tertentu selalu ribut dan susah diatur. Pater Drost SJ mengingatkan para guru ”Kalau orang muda mendengarkan seorang guru, ini hanya terjadi karena guru tersebut adalah seorang saksi”. Saksi dalam konteks zaman kini tak lain adalah teladan. Para guru adalah saksi hidup berkait dengan pelajaran yang digelutinya, teladan untuk nilai-nilai (values) yang diajarkannya. Para siswa tentu tidak berharap perilaku guru persis bertolak-belakang dengan isi pelajaran yang disampaikannya.

Guru yang mengajarkan pentingnya nilai-nilai demokratis dalam hidup bersama, pentingnya mau mendengarkan orang lain, pentingnya sikap terbuka, atau selalu mengembuskan kerendahan hati, ternyata tidak mampu menjalaninya, tentu menjadi batu sandungan bagi pemahaman siswa. Memang guru bukanlah manusia sempurna, tetapi tidak ada salahnya berusaha konsisten dan belajar menjadi saksi hidup, sekurang-kurangnya mau mendengarkan!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya