SOLOPOS.COM - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selaku terdakwa kasus penistaan agama menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Sigid Kurniawan)

Hakim tak hanya menolak pertimbangan dalam pembelaan Ahok, tapi juga pertimbangan jaksa.

Solopos.com, JAKARTA — Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pimpinan Hakim Dwiarso Budi Santiarto membuat putusan yang mengejutkan. Tak hanya menjatuhkan pidana lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), hakim juga menyampaikan pertimbangan yang sudah tidak dipakai jaksa dalam penuntutan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dalam pertimbangan, sejak awal hakim sudah menyebut penilaian JPU–bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak terbukti berniat menodai agama–justru tidak tepat. Hakim juga mengkritik jaksa yang menyimpulkan beberapa hal yang memberatkan terdakwa, namun hanya menuntutnya dengan hukuman percobaan.

Selain itu, hakim juga menolak mempertimbangkan peran Buni Yani, pengunggah potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang kini telah menjadi tersangka. Menurut majelis, kasus Buni Yani tidak ada kaitannya dengan kasus penodaan agama yang menjerat Ahok. Bahkan, hakim juga menolak kesaksian ahli yang menganggap Ahok tidak berniat menistakan agama.

Hakim juga menilai pledoi yang disampaikan terdakwa tidak memuat argumentasi yuridis. Selain itu, hakim menolak penilaian bahwa kasus ini terkait Pilkada Jakarta. “Jaksa menilai kasus ini terkait pilkada. Pengadilan tidak sependapat, karena kasus ini murni kasus penodaan agama. Jika ada yang memanfaatkan, itu dimungkinkan, tapi bukan berarti kasus ini tidak berkaitan dengan pilkada. Kalaupun iya, karena terjadi berdekatan dengan pilkada,” kata hakim.

Bahkan, hakim berargumen bahwa kebanyakan saksi pelapor kebanyakan bukan warga Jakarta. Hakim menyebutkan beberapa nama pelapor yang berasal dari Bogor, Palu, dan Padang Sidempuan, untuk menunjukkan mereka tidak terkait Pilkada Jakarta. “Dari sekian banyak saksi pelapor, kebanyakan tidak ada yang terkait langsung pilkada, sebagian besar mereka berkecimpung dalam bidang keaagamaan, bahkan tinggal di luar jakarta yang tidak ada kaitan dengan Pilkada.”

Argumen penasihat hukum bahwa bukan kali ini saja Ahok mengkritik penggunaan ayat suci dalam pilkada, juga ditolak hakim. Dalam buka Merubah Indonesia, Ahok menceritakan ada oknum yang berlindung di balik ayat suci. Namun hakim menganggap kasus ini berbeda karena dalam buku itu tidak disebutkan Surat Al Maidah ayat 51.

“Pembelaaan penasihat hukum yang mempersoalkan penetapan Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka tanpa sprindik. Pengadilan berpendapat hal itu tidak tepat disampaikan di persidangan, tapi prapreradilan,” lanjut hakim.

Yang mengejutkan adalah sikap hakim terhadap pembelaan Ahok bahwa posisinya di Kepulauan Seribu saat perkara terjadi adalah untuk menyampaikan program budi daya ikan kerapu dalam rangka tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Justru, hakim mematahkan argumen itu dengan menyebut Ahok seharusnya tidak menimbulkan kegaduhan atau mengancam kebinekaan.

Satu lagi, hakim menolak keberatan penasihat hukum Ahok yang menganggap para ahli yang dihadirkan JPU banyak berasal dari FPI, MUI, atau berafiliasi dengan salah satu ormas tersebut. “Pengadilan berpendapat bahwa perkara ini bukan antara terdakwa dengan FPI atau MUI. Kasus ini murni kasus pidana, yang digambarkan penasihat hukum sebagai mengancam kebinekaan, kenyataannya terdakwa yang harusnya punya sikap kenegarawanan dan tidak menimbulkan gaduh.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya