SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Solopos.com, SRAGEN -- Suji Mentir, 75, ledek tayub legendaris dari Kabupaten Sragen telah berpulang pada Selasa (16/3/2021). Warga Sragen patut berterima kasih kepada Suji Mentir. Berkat sosoknya, kesenian tayub tetap lestari hingga saat ini. Namun, datangnya pandemi membuat membuat kesenian ini untuk sementara ditinggalkan oleh warga.

Bagi warga Sragen, khususnya di utara Sungai Bengawan Solo, pentas tayub biasa digelar sebagai ungkapan rasa syukur. Pada umumnya, pentas seni tayub digelar setelah panen atau saat melangsungkan pesta pernikahan. Tidak heran kesenian tayub ini jamak ditemui di sela-sela kegiatan hajatan warga, sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Baca Juga: Dukung UMKM di Sragen, Kelompok 69 KKN UNS Gelar Penyuluhan Digitalisasi Pemasaran  

Ekspedisi Mudik 2024

Syamsudinu, 74, salah satu pegiat seni tayub asal Katelan, Tangen, Sragen, mengungkapkan seni tayub gagrak Sragen berbeda dengan seni tayub di daerah lain seperti Blora, Grobogan, Ngawi dan lain-lain. Kepada Solopos.com, Jumat (19/3/2021), Syamsudinu yang menekuni seni tayub sejak 1968 itu membeberkan perbedaan tayub khas Sragen dengan tayub dari daerah lain.

“Tayub di Sragen cuma ada lima penari pria. Satu penari yang menerima sampur [selendang] namanya kunjer. Empat penari lainnya namanya lareh. Kalau di daerah lain yang menerima sampur ada banyak, penarinya juga banyak,” ujar Syamsudinu.

Makna Filosofis

Ternyata sebuah sampur yang diberikan kepada kunjer itu memiliki makna filosofis. Seorang kunjur jalannya harus lurus ke depan dan tidak boleh menengok ke kanan dan kekiri. Hal itu menunjukkan makna hanggayuh kasampurnaning dumadi yang berarti meraih kesempurnaan hidup. Dua dari empat lareh berada di belakang kunjer, sementara dua lareh lainnya berada di belakang waranggono atau ledek.

“Empat lareh itu merupakan simbol empat perkara yang harus bisa dikendalikan manusia. Mereka adalah angkara murka, amarah, rasa iri dengki dan nafsu birahi. Kalau empat perkara itu bisa dikendalikan, maka seseorang akan bisa meraih kesempurnaan hidup,” jelas Syamsudinu.

Baca Juga: Tinggal Diaspal, Underpass Makamhaji Ditutup hingga Nanti Pukul 17.00 WIB

Waranggono atau ledek sendiri berasal dari istilah leledo atau bebedo yang berarti godaan. Seorang ledek memiliki tugas untuk menggoda seorang pria guna menguji kuat tidaknya imannya dengan tarian dan tembang.

“Pementasan tayub itu di bawah iringan musik gamelan lengkap dengan nada dasar atau laras laras slendro maupun pelog,” terang Syamsudinu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya