SOLOPOS.COM - Seorang seniman grafiti, Stuart Berry, 37, melamar kekasihnya, Lucy Rutherford, 33, dengan lukisan cat di dinding yang dia buat selama tujuh jam di Tiverton, Inggris. Lucy menyatakan sangat bahagia menerima lamaran Stuart. Foto ini dipublikasikan dailymail.co.uk pada 30 Juli 2010

Seorang seniman grafiti, Stuart Berry, 37, melamar kekasihnya, Lucy Rutherford, 33, dengan lukisan cat di dinding yang dia buat selama tujuh jam di Tiverton, Inggris. Lucy menyatakan sangat bahagia menerima lamaran Stuart. Foto ini dipublikasikan dailymail.co.uk pada 30 Juli 2010

Salah satu hal yang harus diyakini orang beriman adalah hanya Allah SWT yang menentukan jodoh. Di dalam doa-doa bagi yang belum menikah selalu terungkap doa agar Allah SWT menyegerakan jodoh di dunia yang fana ini.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Lalu bagaimana jika jodoh tak kunjung tiba? Padahal hampir setiap saat selalu memintanya kepada Allah SWT, Sang Maha Kaya dan Pencipta segala sesuatu. Tapi mengapa jodoh tetap tak kunjung datang?

Realitas sekarang memang menunjukkan semakin banyak laki-laki dan perempuan ”terlambat” ketemu jodoh. ”Terlambat” di sini dalam makna sosiokultural, yakni anggapan bersumber budaya masyarakat setempat bahwa dalam usia tertentu seharusnya sudah menikah.

Realitas ini terkait erat dengan perubahan pola hidup, perubahan pola pandang tentang hidup dan kehidupan serta kondisi faktual yang memungkinkan seseorang kehilangan banyak waktu untuk bersosialisasi—yang diyakini banyak orang sebagai cara bertemu jodoh.

Salah seorang warga Semanggi, Pasar Kliwon, Solo, Abdul Bari, 60, menuturkan pengalamannya yang baru menikah pada usia 39 tahun. Ia mengakui saat itu cukup terlambat untuk menikah.

Namun, bukan berarti ia tidak mau menikah. Saat itu Abdul mengaku memang memiliki prioritas tersendiri. Ia mengaku lebih berkonsentrasi menuntut ilmu dan mengabdi pada gerakan dakwah Islamiah.

Menikah memang bagian dari sunah Rasulullah SAW dan ia pun menyadari penting untuk menikah dan melanjutkan keturunan. ”Waktu itu tidak pacaran. Saat sudah merasa siap, saya berniat mencari istri. Saya dikenalkan, ternyata dia teman waktu sekolah dulu,” ujar dia saat ditemui Espos di Semanggi, Pasar Kliwon, Solo, Selasa (26/12).

Menurut psikolog di Uiversitas Sebelas Maret (UNS), Tuti Harjayani, kondisi zaman saat ini memang semakin bebas dan maju yang mengakibatkan pola pikir masyarakat tak lagi seperti dulu.

”Dulu, usia sekian dan belum menikah dianggap ora payu, tapi sekarang beda. Sekarang lebih bebas dan orang tidak mempersoalkan itu lagi,” kata Tuti.

Menikah, menurut Tuti, berarti memiliki tanggung jawab baru. Menuju lembag apernikahan perlu mempertimbangkan apakah bisa memenuhi tanggung jawab itu. Pertimbangan inilah yang menjadi salah satu sebab orang sekarang banyak yang memilih tidak menikah ketika masih muda.

”Tanggung jawabnya beda, banyak kebutuhan. Dan saya melihat dengan persiapan yang matang dari banyak hal, seperti kematangan pribadi, materi yang cukup dan logika berpikir, akan menentukan kebahagiaan dalam perkawinan,” kata Tuti.

Menurut Tuti, sah-sah saja seseorang menunda pernikahan karena ingin mengejar cita-cita baik di bidang pekerjaan atau  pendidikan. Cita-cita seperti itu juga penentu kesejahteraan di kemudian hari. Apa artinya hidup bersama jika tidak saling membahagiakan satu sama lainnya?

Tetapi, menurut Abdul, pilihan untuk ”terlambat menikah” harus disertai kesadaran penuh tentang masa subur yang memungkinkan dapat melanjutkan keturunan. Sangat disayangkan jika melewati masa subur namun belum menikah.

Selain itu, butuh kesadaran untuk tidak mempedulikan cemoohan masyarakat karena pilihan menikah di usia lanjut atau usia tua tersebut.

”Orang biasanya hanya melihat dari sisi negatif, dianggap tidak laku atau lemah syahwat atau yang lain. Tapi yang tahu alasannya kan diri sendiri,” ujar Abdul.

Pilihan untuk menikah saat usia relatif tua, menurut Tuti, juga menuntut kesadaran untuk memperhitungkan kesejahteraan anak dan menghitung masa pensiun.

Saat usia dan fisik tak lagi produktif, anak harus dipastikan tetap mendapat perhatian dan pendidikan yang baik dengan cara menyiapkan tabungan untuk masa depan anak.

Menurut Tuti, era sekarang memang meniscayakan orang punya prioritas kehidupan sendiri-sendiri. Pilihan untuk menikah lebih lambat atau bahkan tak menikah adalah pilihan bebas orang-orang masa kini.

Dalam konteks sosiokultural, risiko menikah lebih lambat atau menikah di usia jauh lebih tua dari kebiasaan di masyarakat juga bisa diminimalisasi dengan berbagai strategi. Kini, kecenderungannya memang tak ada kata ”tua” untuk jatuh cinta dan kemudian menikah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya