SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kraton Ngayogyakarta menghadapi konflik pertanahan, antara ahli waris dan institusi Kraton yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Persoalan yang mengemuka seorang ahli waris Sri Sultan Hamengku Buwono VII, RM Triyanto Prastowo, yang mengaku memiliki hak waris setidaknya 5.000 meter persegi. Dengan hak itu pula ia menarik uang “magersari” Rp2 juta per 100 meter persegi.

Pengakuan itu tentu saja mendapat reaksi keras, termasuk dari Raja Kasultanan Ngayogyakarta bertahta saat ini Sultan HB X. Ungkapan kekecewaan sampai pelaporan ke pihak kepolisian telah dilakukan oleh pihak Kraton, dan begitu pula sebaliknya pihak Triyanto melaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Mencuatnya permasalahan ini, yang kebetulan dalam masa-masa penyelesaian Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY, lantas menjadi perhatian khalayak. Institusi Kraton yang selama ini adem-ayem dan tidak banyak orang tahu ada friksi di dalam lingkungan Kraton menjadi terhenyak.

Persoalan ini memang bisa dinggap sebagai masalah internal Kraton terkait pada persoalan yang melingkupi para ahli waris sejak Kasultanan itu didirikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1755 beberapa bulan setelah Perjanjian Giyanti.

Dalam perjalanannya tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang muncul di Kraton, termasuk yang paling besar adalah saat pendirian Kadipaten Pakualaman pada 1813 dengan pemimpinnya Pangeran Natakusuma yang bergelar KGPAA Paku Alam I.

Hal yang ingin disampaikan adalah pada suatu masa permasalahan dapat diselesaikan sesuai konteks yang melingkupinya.

Pada persoalan tanah yang diklaim oleh salah seorang trah HB VII konteksnya adalah pada pemahaman tentang tanah yang dianggap milik Kraton, atau Sultan Ground. Sedangkan dalam Kraton ada satu institusi yang bernama Panitikismo atau kantor administrasi pertanahan Kraton. Lembaga inilah yang mengurusi aset tanah milik Kraton.

Secara legal formal pertanahan Undang-undang Agraria di DIY masih mengakui adanya hak adat Sultan Ground. Hal itulah yang menjadi salah satu dasar hukum Panitikismo memiliki tugas dan wewenang mengurusi pertanahan milik Kraton.

Lalu bagaimana terkait dengan ”gugatan” salah seorang Trah HB VII yang merasa berhak atas warisan leluhurnya?

Seyogyanya masalah tersebut bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Kita percaya bahwa instrumen hukum yang dimiliki negara ini dapat menyelesaikan secara adil konflik tersebut. Jangan sampai konflik internal itu meluas menjadi polemik di luar benteng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya