SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jogja kota wisata kedua setelah Bali. Barangkali ini masih sebatas cita-cita atau impian ketimbang kenyataan. Kota Gudeg, dengan segala keindahan, daya tarik sejarah dan eksotismenya, masih belum diimbangi rasa sadar wisata dari pelaku wisatanya.

Belum lama ini, kita mendengar adanya ancaman boikot dari para sopir bus dari Jawa Timur. Mereka mengaku lebih memilih mengantar wisatawan ke Bali. Kenapa? Para pengemudi bus wisata itu merasa aturan lalu-lintas di Jogja terlalu ribet, banyak larangan masuk titik-titik tujuan wisata, tapi di sisi lain terjadi pungutan liar dari oknum kepolisian di jalanan. Bus boleh melanggar aturan masuk, asal bayar “uang damai.”

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Itu hal terbaru yang diangkat media ini. Sebelumnya, ada pula kabar tak menyenangkan yakni tarif parkir bus yang seenaknya, terlalu tinggi dibanding daerah lain, bahkan Bali sekalipun. Belum lagi cerita soal aji mumpung para pelaku wisata di lapangan, seperti para pedagang suvenir yang mematok harga terlalu tinggi saat musim liburan tiba. Wisatawan merasa tertipu.

Kami melihat Jogja memang kurang matang mempersiapkan diri menyambut musim liburan. Ini tampak dari adanya proyek penataan di Jalan Malioboro yang dilakukan bertepatan pada musim liburan. Padahal kita tahu, musim liburan seperti sekarang ini, wisatawan didominasi para pelajar yang sedang study tour dari luar daerah. Tujuan utama mereka, mana lagi kalau bukan Malioboro.

Tentu kami bukan anti Malioboro ditata. Justru Malioboro memang perlu dipoles dari tahun ke tahun agar lebih cantik. Tapi patut dipertanyakan, kenapa proyek itu justru dilakukan bertepatan dengan masa liburan dan masa para wisatawan menyerbu Malioboro?

Hal seperti ini justru memunculkan prasangka, bahwa selama ini, dinas-dinas di pemerintah daerah tak memiliki sense yang sama dalam memandang kota tercinta ini sebagai kota pariwisata. Di saat dinas pariwisata dan dinas kebudayaan mempersiapkan diri menyambut wisatawan dengan menggelar sejumlah acara di kawasan Malioboro, dinas pekerjaan umum justru membuat proyek bongkar-bongkar Malioboro.

Barangkali inilah yang perlu dipikirkan ke depan bagi para pembuat kebijakan dan pelaksananya. Dinas mestinya bekerja dengan koordinasi ekstra tinggi. Tak tumpang tindih dan saling melengkapi. Kita masih kerap mendengar proyek satu bertabrakan dengan proyek lain. Misalnya revitalisasi Tugu Jogja. Tanpa koordinasi intensif dengan Dinas Kebudayaan, Tugu direvitalisasi. Walhasil, baru saja proyek selesai, Tugu harus dibongkar lagi gara-gara proyek dinilai merusak bangunan asli.

Sebagai penyelenggara pemerintahan yang baik, mestinya hal-hal semacam ini dipikirkan lebih matang dan mendetail. Koordinasi dan komunikasi serta perencanaan matang dalam pembangunan serta program-program mesti dilakukan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya