SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

Gong Xi Fa Cai. Selamat Tahun Baru Imlek, semoga di tahun ular air ini, kehidupan kita semua senantiasa berkembang. Maaf jika penulisan Gong Xi Fa Cai keliru. Kami ingin nderek mangayubagya dalam hari yang cukup istimewa bagi semua warga negara, baik keturunan etnis Tionghoa maupun non keturunan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Istimewa bagi warga nonketurunan Tionghoa, karena Imlek merupakan hari libur nasional. Dengan menjadikan Imlek sebagai perayaan nasional, tentu kita senantiasa mengingat, siapa orang yang berjasa mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 perihal larangan segala kegiatan berkaitan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China di Indonesia.

Ekspedisi Mudik 2024

Peraturan yang dianggap diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia itu, dicabut oleh bapak keberagaman Indonesia, almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Bahkan bagi warga keturunan Tionghoa, Almarhum Gus Dur disebut-sebut sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.

Presiden nyentrik itulah yang kemudian menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 6/2000 yang membolehkan bangsa Tionghoa mengekspresikan kebudayaannya, termasuk menjalankan agama leluhur Tionghoa, Konghucu melalui perayaan Imlek sebagai Hari Libur Nasional.

Sejak itu, sejumlah tokoh dari keturunan etnis Tionghoa bermunculan di dunia politik dan kenegaraan.  Sebut saja Kwik Kian Gie, atau Marie Elka Pangestu yang menjadi menteri dalam dua periode Presiden berbeda. Terakhir, Basuki T Purnama alias Ahok yang terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Di Jogja, sekat-sekat kesukuan etnis Tionghoa boleh dikatakan sudah mulai kabur. Lihat sajaperayaan Pekan Budaya Tionghoa yang rutin digelar sewindu terakhir. Di acara itu, baik warga keturunan  Tionghoa atau warga suku lain bercampur baur larut dalam perayaan.

Pada Imlek kali ini, akan diresmikan gapura Kampung Ketandan, kawasan pecinan yang telah bertahan ratusan tahun di Kota Gudeg. Gapura ini dibuat sebagai simbol Kampung Ketandan untuk menarik wisatawan. Artinya, kampung Ketandan tak lagi dipandang sebagai kampung ekslusif etnis Tionghoa, melainkan menjadi aset daerah, kampung milik semua warga Kota Jogja.

Cita-cita menghapus sekat-sekat kesukuan etnis Tionghoa di Jogja, sebetulnya sudah tumbuh sejak lama. Pada 1940 misalnya, sejumlah paguyuban Tionghoa di Jogja menyatakan Ikrar Setia pada Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kemudian pada 1998, ketika terjadi kerusuhan berbau rasialis Tionghoa. Peristiwa pembakaran dan penjarahan terhadap warga etnis Tionghoa merebak di sejumlah tempat di Nusantara. Namun di Ngayogyakarta Hadiningrat, hal itu tak terjadi.

Lalu pada 2012, saat perjuangan keistimewaan DIY belum menemui titik temu menggembirakan, sebanyak 14 paguyuban Tionghoa di Jogja, dengan sukarela mengangkat Ikrar 2012 yang menyatakan apapun risikonya tetap mendukung Keistimewaan DIY.

Sejalan dengan Istimewanya Ngayogyakarta, mari membaur bersama dalam keberagaman.  Selamat memasuki tahun Ular Air, semoga sehat dan sejahtera selalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya