SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Di negeri ini, kasus korupsi merata di segala tingkat. Setelah koruptor “kakap” di jajaran petinggi, baik pemerintah pusat maupun daerah, kini kasus korupsi merambah ke desa-desa. Seperti kasus yang terbaru terjadi di Kabupaten Bantul.

Kasus-kasus korupsi itu di antaranya dugaan penyalahgunaan pungutan dugaan penyalahgunaan pungutan sertifikasi tanah di Patalan Jetis, penggelembungan LPJ dana Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) di Seloharjo Pundong dan penyelewengan dana kas desa di Guwosari Pajangan.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Tak semua kasus itu ditemukan sendiri oleh kepolisian. Banyak yang merupakan laporan warga. Bahkan sejumlah kasus telah diselesaikan sendiri oleh warga secara internal tanpa campur tangan penegak hukum.

Contoh kasus seperti yang terjadi di Balai Desa Segoroyoso, Pleret, pertengahan Juni 2012. Dugaan penyelewengan dana bantuan penyelamatan sapi betina dituntaskan dalam dua kali pertemuan. Tanpa intervensi polisi, pengurus kelompok peternak sapi Sidomulyo akhirnya sepakat mengganti aset kelompok sebesar Rp150 juta dalam jangka waktu dua bulan.

Apa yang dilakukan warga tentu saja patut mendapatkan apresiasi yang tinggi. Belakangan korupsi yang mengakar telah menjadi budaya. Kerapkali kita hanya bisa berkomentar namun tidak bertindak.

Korupsi bahkan merajalela di semua sektor. Tak hanya di kantor pemerintah, tapi juga swasta. Mental koruptor seakan dianggap biasa oleh banyak orang. Diamini begitu saja. Diikuti tanpa merasa melanggar apapun.

Keadaan yang demikian seringkali membuat apatis. Seakan korupsi tak akan bisa ditanggulangi, apalagi dibasmi habis. Tapi apa yang dilakukan warga Bantul, memberi angin segar. Harapan bahwa korupsi bisa ditanggulangi, bahkan dicegah.

Semuanya diawali dari diri warga yang paling kecil lingkupnya, yaitu desa. Sejumlah pengamat juga kerap mendengungkan bahwa peran warga dalam penanggulangan korupsi sejatinya sangat besar.

Warga mampu menjadi “penegak hukum” dengan pro aktif melapor kepada kepolisian. Seharusnya, itikad baik ini juga ditindaklanjuti oleh pemerintah yang selama ini gembar-gembor soal pentingnya pemberantasan korupsi.

Tindak lanjut itu tentu dengan memberikan pemahaman yang baik terkait pengawasan anggaran keudangan, juga bagaimana warga bisa memantau secara independen. Pelatihan tentang pengawasan anggaran pemerintah kepada warga memang telah dimulai dilakukan oleh sejumlah LSM, namun tentu saja mereka tak bisa sendiri.

Sedangkan inisiatif warga untuk menyelesaikan kasus korupsi tanpa melibatkan penegak hukum, harusnya bisa menjadi sindiran. Tentu sindiran bagi polisi. Inisiatif itu bisa jadi karena lambannya penanganan atau tingkat kepercayaan warga memudar.

Meski terbantu dengan aktifnya warga melakukan penanggulangan korupsi, namun para penegak hukum juga harus terus koreksi diri. Terlebih jika benar, tingkat kepercayaan warga telah memudar. Apa yang mereka lakukan seharusnya bisa juga menjadi contoh bagi seluruh warga di daerah lain.

Tak ada yang tidak mungkin, termasuk menanggulangi dan mencegah korupsi hingga ke akarnya. Yang diperlukan adalah kebersamaan dan kekompakan. Satu visi melawan budaya korupsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya