SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berbicara mengenai batik, Jogja tetap menjadi salah satu barometer dari produk akulturasi budaya yang diakui UNESCO, sebuah kekayaan budaya yang terus terjaga secara turun-temurun.

Motif batik Jogja menjadi salah satu dari corak yang begitu mengemuka di Tanah Air selain produk sejenis dari Solo, Pekalongan, Lasem, Semarang, dan Cirebon di Jawa Barat.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Hanya saja, berbicara mengenai perkembangan dari sisi bisnisnya batik Jogja mungkin menjadi salah satu yang tertinggal. Tertinggal bukan karena produk yang tidak disukai, melainkan karena cara pengelolaannya yang tidak secara industri produk massal…

Beda halnya dengan produksi Pekalongan yang pengelolaannya sudah dalam industri…dibuat untuk dijual secara masif, dengan volume yang demikian besar…

Coba tengok transaksi batik di pasar DIY. Amati peredaran produk tekstilnya khususnya di Kota Jogja, secara perlahan namun pasti terjadi sejumlah pergeseran. Batik Jogja tergusur di rumah sendiri.

Penguasaan pangsa pasar batik Pekalongan di Pasar Beringharjo dan Malioboro begitu menggurita mencapai 80%, diikuti batik daerah lainnya termasuk Solo.

Atau, bisa saja produk Pekalongan itu di produksi dengan bahan produksi asal Negeri Tirai Bambu…Mereka diproduksi memang dikhususkan dengan biaya produksi murah, dengan kualitas yang cukup baik.

Lagi-lagi yang memengaruhi industri batik ini adalah selera konsumen yang terus berubah. Batik Pekalongan seperti mengerti betul selera pasar.

Sementara itu, batik Jogja justru lebih banyak tersebar di sentra-sentra kerajinan dengan segmentasi pembeli kalangan menengah ke atas. Kalaupun dilihat dari sisi industri, memang batik Jogja yang bercorak khas tulis yang harganya mencapai jutaan rupiah…

Namun, dari sisi kualitas konsumen paham, memang di atas motif yang dibuat dari Pekalongan. Pewarnaannyapun menggunakan serat warna yang mengacu kepada pewarna alami. Jadi, kalau batik Jogja dinilai lebih mahal, mungkin harga itu sudah pantas.

Hanya saja muncul sebuah pertanyaan, bagaimana menghidupkan batik Jogja secara industri? Mengubah skema batik yang dikelola secara rumahan menjadi produk massal.

Bukan bermaksud mengatakan ide ini salah, dan bukan juga menghilangkan nilai budaya. Mungkin pelaku industri bisa melihatnya dari sisi peluang.

Menciptakan motif batik yang sesuai dengan selera pasar. Berani berkreasi. Dan menjadikan inovasi ini sebuah kekayaan intelektual baru yang mengarah kepada industry itu senditi.

Jogja pun akan menawarkan pilihan. Mau batik tulis yang sarat nilai budaya atau batik jenis lainnya yang dikelola secara printing yang dikhususkan untuk keindahan atau fashion semata.

Tidak perlu malu untuk meniru. Apalagi untuk memajukan industri. Jangan biarkan batik Jogja bimbang memilih antara idealism dan industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya