SOLOPOS.COM - Grup musik Karahyang PMS tampil saat Solo Imlek Festival 2014 di Benteng Vastenburg, Solo, Kamis (23/1) malam. Grup tersebut menampilkan musik kolaborasi Jawa-China. (Ardhiansyah IK/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Solo Imlek Festival dihadirkan di kawasan Benteng Vasteburg Solo. Dalam ajang tersebut juga dihadirkan stan yang menyajikan aneka stank khas Imlek dan kesenian Tionghoa.

Stan-stan itu mulai dibuka pukul 12.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. SIF kali pertama ini digelar selama satu pekan, yakni sejak Kamis (23/1/2014) hingga Rabu (29/1/204) mendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Para pengunjung tak sekadar disuguhi dagangan, mereka juga menikmati hiburan rakyat khas Tionghoa, seperti wayang potehi, barongsai, atraksi wushu, atraksi lampion, Taichi, pentas musik, pengobatan tradisional, kuliner, dan fashion show. Semua hiburan itu merupakan kolaborasi budaya Cina-Jawa.

Ekspedisi Mudik 2024

SIF ini baru pertama kali dilaksanakan. Biasanya kegiatan dilakukan di mal-mal. Sekarang konsepnya lebih dekat dengan masyarakat, kalau ada hujan, ya, kehujanan. Lebih seperti pasar rakyat lah. Jadi, kami membuat sesuatu yang bisa bermanfaat untuk masyarakat, dari sisi, ekonomi, sosial, dan budaya,” ujar Susanto, koordinator SIF 2014.

Susanto yang juga pengurus PMS mencoba mengolaborasikan budaya Tionghoa dengan Jawa. Ia bersama temannya yang orang Jawa, Rully Novianto, membikin konsep pasar rakyat itu. Akulturasi dua budaya, Cina-Jawa, cukup kental dalam SIF.

Akulturasi secara fisik terlihat dari bangunan gapura yang didesain dengan material alam ramah lingkungan, sebagai pintu gerbang pasar murah.

“Konsep gapura ini merupakan simbol akulturasi budaya masyarakat Solo, etnis Jawa dan Cina. Bentuk perahu Rajamala dan naga di bagian atasnya menjadi simbol Jawa dan Cina. Konsep ini mengambil dari sejarah Bengawan Solo,” terang Rully.

Wujud akulturasi lain terlihat dari seni pertunjukan musik tradisional yang memadukan alat musik khas Cina, yankim, dengan alat musik tradisional Jawa, gamelan. Yankim merupakan alat musik berupa kecapi yang ditabuh.

Perpaduan dua simbol budaya itu melahirkan alunan suara yang indah. Selain itu, wujud akulturasi juga tercermin dari aktivitas pedagang yang membaur antara pedagang Cina dan Jawa, serta jenis dagangan, seperti ada pakaian bermotif batik, juga ada pakaian khas Cina. Semuanya pun laku.

Nanik, 44, salah satu pedagang asal Panggungrejo, Jebres, memilih berjualan berbagai atribut berbau Imlek, seperti pakaian anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Nanik juga memajang makanan ringan khas Tiongkok, yakni ngoyang dengan harga Rp15.000/kemasan, satai babi dengan harga Rp20.000/kemasan, dan siomay seharga Rp10.000/kemasan. Ngoyang merupakan makanan yang dibuat dari daging babi yang dikemas seperti nugget.

“Dari semua jenis makanan itu yang laku keras, ngoyang dan satai babi. Kalau pakaian yang paling dicari pengunjung berupa baju ceongsam dan jibao. Pakaian khas Cina itu dijual dengan harga bervariasi sesuai ukuran, mulai dari Rp95.000-Rp250.000/potong,” ujar Nanik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya