SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ada empat Tahun Baru yang dijadikan hari libur nasional. Tahun Baru Hijriyah, Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Imlek dan Tahun Baru Saka, masing-masing dirayakan oleh penganut agama tertentu. Di Jawa dikenal pula Tahun Baru Sura yang dirayakan bertepatan dengan Tahun Baru Hijriyah. Cara merayakan semua Tahun Baru itu bermacam-macam. Pada umumnya berupa pesta, ditandai dengan baju baru, makan enak, keramaian seni budaya seperti nyanyi, musik, tari, dari pagelaran hingga karnaval.

Ketika dihubungkan dengan hal yang gaib, kirab mengarak gunungan sesajian disertai dengan sejumlah benda pusaka yang dikeramatkan menjadi sebuah keharusan. Untuk menolak bala sebagian orang mandi di tujuh sungai, melakukan ruwatan dan menaati sejumlah pantangan. Ada pula yang mencari keheningan, melakukan semadi dan merenung mawas diri. Maksudnya memasuki Tahun Baru dalam keadaan yang bersih. Dan doa-doa dipanjatkan mengharapkan masa depan yang lebih baik.

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Tradisi sekuler
Tidak sampai setengah bulan setelah Tahun Baru Hijriyah dan Sura, kita pun menyambut Tahun Baru Masehi. Tahun Baru ini sudah menjadi tradisi sekuler yang dirayakan secara internasional. Sekali setahun orang-orang bergerombol turun ke jalan. Berbagai acara eksklusif dipersiapkan secara khusus untuk menguras kocek mereka yang berada. Banyak orang yang senang menghamburkan uang. Toko-toko dan pusat perbelanjaan pun tidak menyia-nyiakan momen Tahun Baru untuk menarik pembeli.     Tawaran kredit dan diskon besar-besaran mendorong orang menjadi gila belanja tanpa berpikir panjang. Tidak ada yang salah dengan para pedagang. Masalahnya terletak pada orang yang tidak sanggup mengatakan tidak saat menghadapi godaan. Dan kesia-siaan membuang harta yang seharusnya lebih bermanfaat jika dipergunakan untuk menolong mereka yang papa.

Modernisasi yang menyatu dengan kepentingan ekonomi telah menghadirkan kapitalisme sebagai agama baru. Mengutip Sulak Sivaraksa, agama baru ini mengajarkan konsumerisme. Tempat ibadahnya adalah shopping centre. Mimbar khotbahnya adalah iklan-iklan. Kalau Descartes mengatakan “aku berpikir, maka aku ada,” disadari atau tidak, yang berlaku dalam konsumerisme adalah “aku ada karena aku membeli.” Konsumerisme bersekutu dengan materialisme dan hedonisme mengakibatkan erosi moral dan distorsi ajaran agama yang kita kenal selama ini. 

Sivaraksa mengingatkan bahwa, “aku ada karena aku bernapas”. Pernapasan merupakan salah satu objek meditasi yang penting. Semua yang bernapas sama, tidak membedakan aku dan kamu. Kita selalu bertukaran udara saat menarik dan mengembuskan napas. Tentu saja tidak ada kehidupan tanpa napas. Karena masih bernapas kita sempat ikut merayakan Tahun Baru. Acara Tahun Baru, apa pun itu, tidak akan menarik bagi orang yang mengalami sesak napas. Dapat dikatakan tidak ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya menarik dan mengembuskan napas dengan harmoni.
 
Ramalan
Tidak sampai satu tarikan napas, dengan mengamati gerakan jarum jam, dalam hitungan sedetik saja kita mengatakan tahun berganti. Pergantian tahun mengingatkan kita pada waktu yang senantiasa berubah, lingkungan berubah, diri sendiri berubah. Perubahan memang menimbulkan suatu ketidakpastian, sehingga orang mencoba mereka-reka mengenai masa depan.

Para ekonom memprediksi nilai mata uang dan pertumbuhan ekonomi di tahun yang baru. Ahli meteorologi meramalkan keadaan cuaca. Ilmuwan meramal tentang sesuatu yang akan terjadi dalam kondisi yang telah diketahui dengan menghitung peluang dan kejadian secara matematis. Dipertimbangkan pula tingkat kepercayaan, seberapa jauh suatu pendugaan itu dapat diandalkan. Namanya ramalan, tetapi rasional berdasar logika,  dan mungkin saja keliru. Sedangkan tukang ramal bekerja memakai primbon dan astrologi atau kekuatan paranormal yang dipandang bersifat misteri.

Bagaimanapun segala yang diharapkan atau tidak diharapkan akan terjadi karena sebab dan kondisi. “Sesuai dengan benih yang telah ditabur, begitulah buah yang akan kauperoleh darinya.” (S. I, 227). Buah dikenali dari pohonnya, dan pohon bisa berbuah karena terpelihara. Dengan memahami sebab-akibat dan mengenali setiap perubahan, kita menjaga kewaspadaan dan kesadaran yang tak kunjung henti sejak menabur benih, memelihara hingga memetik dan menikmati buahnya. 

Selamat Tahun Baru 2010.

Oleh Krishnanda Wijaya-Mukti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya