SOLOPOS.COM - Ilustrasi mewarnai kuteks. (Freepik)

Solopos.com, SOLO – Kuteks sangat dekat dengan kehidupan sebagian wanita. Penghias kuku yang bisa disesuaikan dengan pakaian dan riasan wajah ini membuat penampilan wanita lebih menarik.

Terlepas dari kegunaannya, perkembangan kuteks di setiap zaman juga tak kalah menarik. Dikutip Solopos.com dari Byrdie, Sabtu (16/11/2019) begini sejarah kuteks di dunia.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menakuti lawan di Irak

Pada 3.200 sebelum Masehi (SM), para tentara Babilonia (negara kuno di selatan Irak) menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengeriting dan mengilapkan rambut. Mereka juga merawat dan mewarnai kuku-kuku dengan kohl (maskara kuno) sebelum ke medan perang untuk menakuti lawan.

Pemilihan warna kuku disesuaikan dengan kelas rakyat Babilonia. Warna hitam menandakan bangsawan dan hijau untuk rakyat rendahan. Bibir mereka juga diwarnai serupa dengan kuku.

Pembeda rakyat dan penguasa China

Rakyat China menggunakan pewarna kuku sebagai pembeda antara rakyat dan penguasa pada 3.000 SM. Rakyat kelas atas menggunakan bahan-bahan seperti, lilin lebah, gom arab, dan putih telur untuk mewarnai kuku mereka. Penguasa dinasti mengenakan pewarna kuku berpigmen tinggi, seperti merah.

Tak semua pewarna kuku boleh dipakai oleh rakyat China. Rakyat kelas bawah hanya boleh memakai warna pucat. Mereka akan dihukum mati bila mengenakan warna untuk bangsawan.

Sejak masa kekuasaan Dinasti Chou (600 SM), bangsawan China memanjangkan kuku dan menghiasnya dengan permata. Kuku panjang menandakan status mereka yang tidak pernah mengerjakan pekerjaan berat.

Kuteks Cleopatra di Mesir untuk hiasan

Sekitar 50 SM, Cleopatra, ratu terakhir Kerajaan Mesir Kuno, menggunakan henna (kuteks tumbuhan) pada kukunya. Dia mencelupkan setiap jarinya ke cairan henna berwarna merah darah hingga kukunya terwarnai dengan sempurna. Sedangkan penggunaan henna ke seluruh tangan dipopulerkan oleh Nefertiti, Ratu Kerajaan Mesir Kuno ke-18.

Kuteks modern dari AS

Mary E. Cobb, perawat tangan dan kuku (manikur) pertama Amerika Serikat (AS) mempelajari seni manikur di Prancis. Kemudian pada 1878, salon manikurnya, Mrs. Pray’s Manicure resmi dibuka di AS. Dia juga menulis panduan manikur di rumah dan menciptakan papan emory alias penyangga kuku saat dimanikur.

Kuteks bubuk

Pada 1911, pelembut kutikula (lapisan sekitar kuku), Cutex diproduksi. Seiring bervariasinya permintaan pasar, Cutex akhirnya memproduksi kuteks berbahan pasta, bubuk, dan model tempel. Namun, kuteks berbahan bubuk yang populer tergeser oleh kuteks cair pada 1917.

Kuteks cair mengilap

Michelle Menard, penata rias Prancis membuat pelapis mengilap untuk kuteks pada 1920. Tak disangka, produknya itu populer di kalangan sebagian wanita hingga kini. Pada 1932, ia meresmikan toko kosmetiknya, Revlon. Revlon menjual berbagai warna pelapis kuku hingga memproduksi lipstik dan kosmetik.

Kuteks Prancis

Ada pula Jeff Pink, penata rias AS sekaligus pendiri Orly (perusahaan perlengkapan manikur), ia menciptakan warna kombinasi pada kuteks agar cocok dengan pakaian model yang berganti-ganti. Dikutip dari Mentalfloss, dia menyebut karyanya dengan manikur Prancis yang populer di kalangan wanita dan dipublikasikan pada 1976.

Pada 1983, Essie Weingarten, mengembangkan produk kuteks pertamanya yang akhirnya populer. Dia juga mendirikan Essie Cosmetics, toko kuteks dan kosmetik terbesar di AS.

Kuteks merah merona

Tak hanya itu, salah satu pemeran film Pulp Fiction (1994), Uma Thurman, menghias kukunya dengan kuteks Chanel varian Rouge Noir. Kuteks berwarna merah kehitaman tersebut langsung menjadi incaran banyak orang.

Kuku palsu

Selain kuteks, penggunaan kuku palsu juga sangat populer di dunia fesyen. Kuku palsu akrilik pertama kali dibuat oleh Frederick Slack, dokter gigi AS yang merusak kukunya saat bekerja pada 1957. Dia menggunakan aluminium foil dan akrilik gigi untuk membuat kuku palsu yang terlihat serupa dengan miliknya. Kemudian, ia mulai membuat berbagai kuku akrilik bersama dengan dokter gigi lain dan mematenkan hasil karyanya.



Kini, 2019, kuku menjadi ladang bisnis bernilai ratusan juta rupiah di dunia dan terus berkembang. Media sosial menjadi alat penjualan paling strategis yang dipilih perusahaan penghasil kuteks dan perlengkapan manikur. Ada lebih dari 92 persen penata rias kuku tersebar di media sosial. Jumlah mereka akan terus bertambah seiring berkembangnya industri kuteks dan manikur. (Enggar Thia Cahyani/Solopos.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya