Kolom Jogja
Selasa, 2 Juni 2009 - 11:56 WIB

Tahta untuk rakyat

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sungguh menarik mencermati visi, misi serta rencana startegis jangka panjang (terutama yang berhubungan dengan masalah ekonomi) ketiga pasang calon presiden-wakil presiden (Capres-Ca wapres), pascapenetapan ketiganya untuk maju “bertarung” dalam pilres 8 Juli mendatang.

Semuanya hampir-hampir memiliki kesamaan pandang dan cita-cita luhur, yakni ingin memakmurkan rakyat banyak. Ada banyak tema yang diambil sebagai jargon-jargon politiknya. Semuanya mengarah pada haluan dan tujuan yang sama, yakni mengangkat harkat dan martabat masyarakat.

Advertisement

Benarkah tujuan yang mulia ini memang benar-benar ingin dicapai oleh para Capres-Cawapres? Atau mereka sekadar mengumbar janji kampanye untuk menyedot perhatian (tebar pesona) dan ujungnya bermuara pada peningkatan jumlah suara yang signifi kan?

Inilah persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Kalau para parpol yang berkoalisi konon melakukan ”kontrak politik” pembagian kekuasaan (baca: bagi-bagi jatah ”kursi”), maka sudahkah para calon pemimpin bangsa ini juga membuat kontrak politik dengan masyarakat pendukungnya?

Advertisement

Inilah persoalan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Kalau para parpol yang berkoalisi konon melakukan ”kontrak politik” pembagian kekuasaan (baca: bagi-bagi jatah ”kursi”), maka sudahkah para calon pemimpin bangsa ini juga membuat kontrak politik dengan masyarakat pendukungnya?

Sebab, ritual semacam ini hampir terjadi setiap lima tahunan (dalam setiap pemilu, apapun bentuknya), namun kehidupan masyarakat seolah tidak pernah beringsut (terlebih beranjak) membaik. Padahal, serangkaian program yang prorakyat senantiasa dikedepankan dalam setiap kampanye berupa janji-janji kampanye.

Anehnya, rakyat selama ini hanya diam seribu bahasa menyaksikan nihilnya realisasi dari janji-janji para calon pemimpin. Sudah berapa puluh kali kita menyaksikan dalam setiap pemilu mulai dari pemilu Kepala Desa, Bupati, Walikota, Gubernur, anggota legislatif (baik DPR tingkat II, Propinsi hingga DPRRI), semuanya hanya berupa ”janji tinggal janji”.

Advertisement

Pertumbuhan ekonomi, hanya dirasakan oleh sebagian kecil anak bangsa. Sementara, mayoritas warga negara masih hidup dalam kubangan  kemiskinan. Bahkan, krisis ekonomi global AS, yang sudah berdampak pada ekonomi domestik ini, ternyata telah menambah panjang deretan kaum pengangguran baru. Bahkan, beberapa BUMN seperti PT. PAL Indonesia, kini tengah dilanda kesulitan (likuiditas) keuangan akut, yang berpotensi untuk rasionalisasi karyawannya. Padahal, PT PAL Indonesia merupakan BUMN strategis, di negeri yang menyebut sebagai negara bahari (kelautan).

Oleh sebab itu, kalau para pasangan Capres-Cawapres mulai melakukan kampanye 2 Juni ini, hendaknya selalu mengutamakan janji kampanye yang realistis. Artinya, janganlah pernah untuk mengumbar janji kampanye yang tidak membumi sama sekali. Janji-janji ataupun tekad untuk memajukan perekonomian rakyat misalnya, harus bisa diimbangi dengan sesuatu yang aplikabel dan masuk akal. Jangan sampai jabatan (tahta) yang akan diraih kelak menjadi sia-sia, karena tidak menepati janji yang pernah diutarakannya. Tahta untuk rakyat harus benar-benar mewujud dalam bentuk kebijakan yang prorakyat.

Pertanyaannya adalah, bagaimana ekonomi kerakyatan bisa dijalankan, apabila kita masih saja tergantung pada para pemodal atau investor asing (multi national corporation/MNC) di tengah lesunya para pemain domestik?

Advertisement

Inilah persoalan pelik, yang masih menggelayuti dunia perekonomian Indonesia. Para pemodal atau investor asing dengan dana kakapnya, hampir bisa dipastikan tidak akan kondusif bagi tumbuh suburnya ekonomi kerakyatan yang seringkali dihubungkan dengan nasib buruh, petani, nelayan, buruh migran dan wong cilik lainnya.

Yang terjadi justru semakin termarjinalkannya peran rakyat kecil akibat mengguritanya usaha-bisnis korporasi transnasional kelas kakap. Keterbatasan anggaran pemerintah untuk mendukung beroperasinya mazhab ekonomi kerakyatan, setidaknya akan membatasi implementasi konsep ekonomi wong cilik ini di lapangan. Dengan demikian, kehadiran para investor asing masih diperlukan.

Cara yang paling bijak, ya memberdayakan masyarakat lokal untuk bisa ikut mengelola sumber daya yang ada dalam bentuk koperasi, sehingga posisi tawarnya dengan para pemodal/investor akan bisa sejajar. Hanya dengan cara semacam itu, pembangunan ekonomi kerakyatan akan bisa menemukan momentumnya.

Advertisement

Keberhasilan gerakan koperasi di berbagai negara seperti Belanda, Denmark, Australia, bahkan Singapura, jelas bisa dijadikan benchmarking (pembanding) bagi kiprah gerakan koperasi di Ind onesia. Intinya adalah selalu melibatkan sumber daya manusia lokal didalam sebuah siklus usaha (bisnis). Penduduk setempat tidak hanya sebagai penonton, yang tidak memiliki daya apa-apa. Mereka harus ikut menjadi pemain yang disegani, pemain yang ikut menentukan usaha yang dijalankan di wilayah kerja tertentu. Itu berarti harus membangun sumberdaya manusia (human capital) yang kuat.

Bagaimana pula ekonomi kerakyatan akan sangat tergantung pada begitu banyaknya kebijakan, yang selama ini lebih banyak berpihak pada para kapitalis, pengusaha kelas kakap, investor asing, dan para pemodal dan cukong kelas kakap, yang sama sekali tidak berpihak pada wong cilik, pengusaha gurem, dan sejenisnya. Maka, berbagai rencana dan konsep ekonomi kerakyatan menjadi sangat diragukan validitasnya, di tengah-tengah ekonomi kapitalis, yang cenderung propasar (mekanisme pasar). Jelas, upaya ini membutuhkan jalan panjang, berliku serta penuh jurang dan “ranjau”

Bagaimanapun perubahan harus terjadi, kalau kita ingin meninggalkan praktik-praktis ekonomi neoliberal, yang selama ini sudah mengungkung kita bersama. Contoh yang paling mudah dilihat dilihat adalah fenomena mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (dua hal mendasar yang dibutuhkan setiap warga bangsa). Hal ini terjadi karena pengelolaan pendidikan dan kesehatan belakangan ini diserahkan kepada pemilik modal, sehingga peran pemerintah semakin tereduksi. Padahal, rakyat semestinya menikmati fasilitas pendidikan dan kesehatan secara mudah dan murah.

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif