Kolom
Rabu, 8 Mei 2024 - 12:55 WIB

Pendidikan Masa Kini

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - R. Nova Gora (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Teknologi digital secara mendasar telah mengubah cara belajar peserta didik di Indonesia. Peserta didik (generasi digital) beralih ke Internet sebagai referensi utama belajar. Internet menjadi sumber yang paling diandalkan.

Berbagai tugas dari guru mendapat jawaban dalam hitungan detik. Generasi digital, menurut Jukes dan Schaaf (2019), lebih suka mencari informasi dari big data di berbagai sumber digital dan bisa dijangkau melalui hyperlinks.

Advertisement

Bagi mereka konsultasi ke Google, Siri, ChatCPT, Alexa, atau Cortana lebih cepat mendapatkan jawaban masalah daripada belajar, diskusi, atau membaca buku di kelas. Motivasi mereka adalah kemudahan, kepraktisan, dan hasrat menyelesaiakn banyak hal dalam waktu singkat.

Internet memang menawarkan berbagai jalan pintas yang berlimpah di depan mata, namun sayangnya tidak semua peserta didik menyadari bahwa Internet adalah tempat penyimpanan.

Semua orang dapat menyimpan (termasuk membuang) apa saja, dari selembar folio sampai foto palsu, dari laporan ilmiah sampai pornografi, dan dari ajaran keagamaan sampai ujaran kebencian.

Advertisement

Selain sebagai gudang ilmu, Internet juga tong sampah terbesar. Di Internet orang paling baik dan orang paling jahat, orang paling pintar dan (maaf) orang paling bodoh, hanya terpisah beberapa klik. Untuk beberapa hal, Internet adalah anugerah yang luar biasa.

Anugerah itu hanya berlaku bagi orang yang sungguh-sungguh mengerti apa itu Internet, mengerti apa yang dicari, dan kritis. Karena itulah, untuk menemukan informasi yang dibutuhkan, seseorang harus berjalan di tengah terpaan badai informasi tak berguna yang diunggah orang-orang tidak bertanggung jawab.

Isu yang lebih mendasar adalah bahwa keberlimpahan informasi di Internet, tanpa disadari, benar-benar mengubah cara berpikir dan literasi peserta didik menjadi lebih buruk. Keberlimpahan informasi melahirkan generasi bermental instan yang hanya tahu copy-paste.

Kebiasaan melihat teks sebagai objek bacaan untuk dimengerti dan ditelaah kritis semakin pudar. Sedangkan membaca dan melihat sekilas informasi semakin populer. Informasi dilahap begitu cepat tanpa pertimbangan kritis.

Advertisement

Pepatah berikut kuno, tetapi sangat relevan: yang menyakiti Anda bukanlah sesuatu yang tidak Anda ketahui, melainkan sesuatu yang Anda kira Anda ketahui namun salah.

Saat mengerjakan tugas sekolah, misalnya, banyak peserta didik yang suka mencomot begitu saja jawaban dari Internet tanpa mengerti maksudnya, apalagi berpikir guna memastikan jawaban itu benar atau salah.

Fenomena ini menyebalkan, tapi nahasnya justru semakin populer. Selain fenomena Internet, ambisi besar neoliberalisme juga merasuki pendidikan kita. Neoliberalisme bukan sekadar urusan ekonomi.

Kalau dalam liberalisme klasik manusia itu makhluk ekonomi (homo oeconomicus),  hanya dalam bidang ekonomi, pada neoliberalisme manusia diperlakukan sebagai makhluk ekonomi dalam semua bidang kehidupan, termasuk pendidikan.

Advertisement

Artinya, neoliberalisme berambisi mengatur seluruh bidang kehidupan dengan dalil harga, laba, dan privatisasi (Priyono, 2022). Ambisi itu semakin nyata. Pendidikan dikomodifikasi untuk menggali laba, ilmu pengetahuan tak ubahnya barang dagangan.

Tidak mengherankan apabila sebuah sekolah dicap “bergengsi” bukan karena proses pendidikan yang berkualitas, tetapi biaya pendidikan yang mahal. Pendidikan menjadi lahan bisnis berorientasi profit. Pendidikan dipasarkan seperti barang dagangan, bukan petualangan intelektual dan pematangan karakter.

Siswa wajib membayar uang PMR, uang Paskibra, uang Pramuka, dan uang-uang kegiatan lainnya. Semua diuangkan, tapi kegiatan asal jalan. Berbagai bentuk kegiatan itu perlu diberi perhatian serius agar siswa dapat terlatih gotong royong dan mandiri.

Harus diakui bahwa pendidikan yang berkiblat pada ekonomi tidak hanya mengubah institusi pendidikan menjadi institusi pasar, tetapi juga memengaruhi seluruh proses belajar-mengajar di dalamnya. Tidak mengherankan, siswa yang membayar sekolah lebih mahal mengharapkan lebih banyak balasan, seperti fasilitas, layanan, dan bahkan nilai yang lebih baik.

Advertisement

Saya pernah berhadapan dengan orang tua siswa yang protes nilai anaknya di bawah kriteria ketuntasan minimal atau KKM dengan dalil sudah membayar sekolah dengan mahal.

Ada pula siswa yang menuntut guru agar diberi nilai bagus, terlepas dari daya juangnya, meski bisa dimengerti bahwa itulah yang sudah pasti diharapkan oleh siswa yang memaknai dirinya sebagai konsumen.

Fenomena ini tidak mengherankan karena ketika pendidikan adalah bisnis, sekolah tidak boleh mengecewakan pelanggan. Siswa diperlakukan seperti klien, bukan peserta didik. Pendidikan bak restoran yang perlu memberi pelayanan optimal kepada pelanggan.

Tujuan pendidikan memastikan klien senang dan gurulah pelayannya. Keahlian guru hanyalah bentuk pelayanan yang dibeli oleh siswa sebagai konsumen. Seperti yang diketahui banyak orang di industri pelayanan, pelanggan selalu benar.

Akibatnya, demi memuaskan hati pelanggan guru harus bermurah hati memberi nilai. Siswa lulus atau naik kelas dengan nilai yang tidak menggambarkan tingkat pendidikan atau proses pencapaian intelektual yang pantas. Nilai lambat laun defisit makna karena bukan lagi sebagai penghargaan atas prestasi siswa.

Mental instan copy-paste, membaca dan melihat sekilas tanpa pertimbangan kritis, dan komersialisasi pendidikan harus segera diatasi karena dapat berdampak buruk pada mutu sumber daya manusia Indonesia pada masa depan.

Advertisement

Mental instan copy-paste bisa berdampak pada tumpulnya daya kritis. Membaca dan melihat sekilas bisa berdampak pada menurunnya kemampuan berliterasi.

Komersialisasi pendidikan bisa melumpuhkan daya juang peserta didik karena tidak lagi memaknai sekolah sebagai sebuah proses memanusiakan manusia.

Masalah ini bukan tanggung jawab peserta didik semata, tetapi juga kita, orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Karena itulah, bentuk pendampingan pendidik ialah, pertama, perlu menyadarkan peserta didik bahwa tidak semua hal yang ada di Internet itu benar. Sangat diperlukan pendalaman melalui artikel yang lebih lengkap atau buku.

Aktivitas belajar-mengajar perlu melatih dan membiasakan tumbuhnya keutamaan-keutamaan pengetahuan seperti ketelitian, kesabaran, ketekunan, kesaksamaan kerja, ketepatan, keterbukaan terhadap kritik, kejujuran, dan kerendahan hati untuk mengakui kekeliruan.

Dengan demikian, peserta didik akan menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah proses, bukan hal instan dan praktis. Pragmatisme itu menggerus idealisme dan mendegradasi martabat manusia. Kedua, membantu peserta didik supaya mampu membedakan informasi, disinformasi, dan misinformasi dari sumber-sumber Internet.

Ketiga, sekolah harus melakukan pendidikan kritis. Peserta didik tidak boleh dibiarkan menelan mentah-mentah informasi dari Internet atau materi yang diajarkan, baik untuk dilakukan atau dihindari, untuk dipercayai atau dicurigai. Pendidikan tidak boleh menjadi wadah penjejalan ilmu yang berbasis hafalan sehingga anak didik malas berpikir.

Anak didik perlu kritis mengapa ia melakukan hal ini, dan bukan itu. Sedangkan pendidik perlu mendampingi dan melatih agar peserta didik dapat menimbang secara kritis mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Pendidik terus merangsang peserta didik agar tidak bosan berpikir dan mencari kebenaran.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Mai 2024. Penulis adalah guru di Sekolah Regina Pacis, Kota Bogor, Jawa Barat)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif