Kolom
Kamis, 9 Mei 2024 - 09:55 WIB

Menguasai atau Dikuasai AI

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fathan Rizki Efendi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Menurut Kamus Britannica, artificial intelligence (AI) adalah simulasi atau tiruan kecerdasan manusia yang diproses oleh mesin, khususnya sistem komputer. AI telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern.

AI membuat dunia berubah drastis. Kemampuan mengerjakan pekerjaan dengan cepat dan bersifat kompleks menjadi daya tarik untuk memanfaatkan. AI mempercepat kemajuan teknologi dan memudahkan banyak aspek kehidupan manusia.

Advertisement

Mahasiswa terbantu oleh AI karena kemudahan mencari informasi dan belajar melalui media Google atau browser lainnya kini sudah digeser oleh macam-macam AI. John McCarthy dinobatkan sebagai bapak AI.

Dia tokoh di antara beberapa pencapaian awal pengembangan AI. John McCarthy mengatakan every feature of intelligence or learning aspects in principle can be so precisely described that a machine can seamlessly simulate it.

Intelektualitas mahasiswa diuji pada persoalan ini. Bagaimana mereka hendak menyikapi kebaruan ini. Bagi mahasiswa yang mencari jalur mudah dan cepat, mereka akan mempergunakan AI sebagai alternatif instan.

Advertisement

Bagi mahasiswa yang menjadikan AI sebagai pembantu, mereka akan berkembang beriringan dengan kemajuan. Beragam AI mudah dipelajari oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Melalui media digital, semua dapat mengakses dengan mudah dan cepat. Salah satu contoh AI ialah Chat GPT.

Chat GPT adalah kecerdasan buatan yang cara kerjanya menggunakan format percakapan. Ketika mahasiswa bertanya kepada Chat GP, dalam sekejap jawaban muncul secara otomatis sesuai dengan yang diinginkan.

Mengutip Databoks, Indonesia adalah negara dengan pengguna Chat GPT  paling banyak, yakni sebesar 52%. Goodstat.id menyampaikan melalui survei Populix bahwa 76% pengguna Chat GPT berasal dari Jawa.

Riset tersebut juga menyebut bahwa laju pertumbuhan pengguna Chat GPT melampui Tiktok, Instagram, X (Twitter), dan aplikasi populer lainnya. Di kalangan mahasiswa banyak ditemui penyalahgunaan AI.

Advertisement

Misalnya saat presentasi lalu terdapat sesi tanya jawab, Chat GPT digunakan untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan sesama mahasiswa. Dengan mudah pemateri atau presentator menjawab pertanyaan tanpa susah-susah memahami materi yang mereka paparkan.

Hal yang terjadi adalah kebergantungan terhadap jawaban instan. Tipikal mahasiswa tentu berbeda-beda, ada yang bertanya karena tidak tahu atau kurang paham; ada yang bertanya karena mencari nilai keaktifan di kelas; dan ada juga yang bertanya untuk menyudutkan lawan bicara.

Tipikal mahasiswa yang bertanya karena ketidaktahuan atau kurang paham terhadap materi menginginkan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan. Chat GPT tidak sepenuhnya benar dan akurat. Tetap saja dapat ditemukan ketidaksesuaian dengan konteks pertanyaan.

Ada pula yang bertanya karena mencari nilai keaktifan di kelas, jadi tidak terlalu memedulikan jawaban yang diberikan. Tidak perlu heran, mahasiswa seperti ini selalu ada di setiap perkuliahan.

Advertisement

Menjadi aktif dengan niat terselubung mencari muka di hadapan dosen. Terkadang mereka ketika hendak bertanya mencari contoh pertanyaan dengan Chat GPT. Menjawab menggunakan Chat GPT dan bertanya juga menggunakan Chat GPT.

Tentu sangat memprihatinkan ketika mahasiswa tidak mau belajar dan memahami materi. Beda halnya mahasiswa yang bertanya dengan maksud untuk memojokkan lawan. Biasanya mereka berusaha memahami materi dan mencari celah untuk menjatuhkan lawan, sekalipun mereka menggunakan Chat GPT.

Dalam penugasan kuliah juga dapat ditemui penyalahgunaan AI. Contohnya, AI kini memiliki layanan membuat karya tulis ilmiah maupun nonilmiah dalam sekejap. Hanya dengan menuliskan poin-poin yang dituju, hasilnya cukup disalin dan disunting sedikit lalu tugas siap dikumpulakan.

Layanan yang diberikan tentu sangat praktis, apalagi layanan yang menerapkan sistem berbayar. Biasanya lebih kompleks dan lebih akurat dalam pengerjaan. Kalangan mahasiswa rata-rata pasti mendapatkan tugas untuk membuat essai.

Advertisement

Dengan AI semua akan lebih mudah. Terkadang bahasa yang diciptakan oleh AI bisa terdeteksi sebagai plagiat, tapi hal ini tidak menjadi kesulitan karena AI juga menghadirkan solusi, yakni berupa jasa parafrasa agar tidak terdeteksi oleh sistem pendeteksi plagiat.

Muncul keprihatinan bahwa ketergantungan pada AI dapat berdampak yang tidak diinginkan. Meskipun AI dirancang untuk memudahkan kehidupan, ada potensi ketergantungan yang berlebihan dan kurangnya kemampuan berkembang mandiri dapat mengakibatkan bencana bagi diri sendiri.

Data UNESCO menunjukkan Indonesia menempati urutan kedua dari bawah mengenai literasi. Menurut UNESCO, minat literasi di Indonesia sangat memprihatinkan karena hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang hanya seorang saja yang rajin membaca.

Ini tanda bahwa dulu tidak serendah itu literasi di Indonesia. Dahulu ketika hendak mencari data atau bahan bacaan harus pergi ke perpustakaan atau membeli buku. Membaca halaman demi halaman, memahami secara mendalam, dan mencatat data-data yang diperlukan.

Ketika data tidak ditemukan di suatu perpustakaan harus mencari di perpustakan lainnya hingga menemukan yang diinginkan. Mahasiswa kini beralih ke perpustakaan digital. Tidak perlu lagi susah-susah menjelajahi perpustakaan.

Cukup dengan membuka gawai atau alat semacamnya semua dengan sekejap mudah ditemukan: buku, artikel jurnal, skripsi, tesis, hingga disertasi. Semuanya menjadi mudah dengan AI, tapi bukan berarti semuanya diserahkan kepada AI.

Advertisement

Menjadikan AI sebagai pembantu menyelesaikan suatu masalah adalah tepat. Sedangkan yang tidak tepat adalah ketika semua dilimpahkan kepada AI tanpa usaha untuk belajar mandiri.

Kemusnahan kecerdasan manusia menjadi momok. Digantikan kecerdasan buatan manusia. Bukankah lucu ketika kecerdasan yang sifatnya alami tergantikan posisinya dengan kecerdasan yang dibuat dari kecerdasan alami itu?

Itu kini antara mungkin dan tidak mungkin terjadi. Mungkin terjadi jika dan hanya jika teknologi berkembang pesat dibanding manusia. Begitu pula sebaliknya, tidak akan terjadi jika dan hanya jika manusia lebih pesat berkembang dibandingkan teknologi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Mei 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia UIN Raden Mas Said Surakarta)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif