Lifestyle
Sabtu, 27 April 2024 - 08:04 WIB

Istana Putri Duyung

Redaksi Solopos.com  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen "Istana Putri Duyung" (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Leli suka membayangkan dia lahir sebagai ikan duyung. Putri duyung yang manis. Seperti di komik. Dia ingin dan merasakan berenang tanpa bantuan. Berenang bebas seperti teman-teman di klub renang.

Sampai suatu hari ia pergi ke laut.

Advertisement

“Bentangkan kedua tanganmu,” kata orang itu.

Cahaya matahari membuat wajah itu seperti malaikat. Oh, tidak ada malaikat. Leli dengar malaikat bersayap seperti burung dan terbang di malam hari mencari anak-anak baik. Di sini, di laut, putri duyunglah yang berkuasa.

“Bentangkan tanganmu.”

Leli membentangkan tangan. Begini rasanya? Anak itu bertahan dan tidak merasa kakinya terbenam. Itulah yang membuat dia tidak bisa berenang. Sepasang kaki yang dipasangi entah apa oleh dokter supaya bisa jalan—dan belum terbukti ia bisa berjalan sampai hari ini—sering membuatnya terbenam. Kini, kedua kakinya mengambang.

Seandainya Bunda di sini. Seandainya teman-teman juga. Matanya merekam detail: wajah tirus dan rambut pirang. Panjang dan lebat rambut itu sehingga ketika kambang serupa selendang jatuh dari kapal.

Leli tidak tenggelam. Meski belum terbiasa, ia tahu rasa mengambang tanpa harus ada Bunda di sampingnya. Biasanya Bunda sedih dan menangis diam-diam sekeluar dari kolam. Anak itu tahu, tapi tak bicara kepada siapa-siapa, kecuali ke boneka kesayangannya.

“Kamu siapa?” tanya Leli setelah menikmati keajaiban laut ini. Ia tidak tahu ia di mana dan bagaimana bisa ada di sini. Sepasang kakinya ringan mendorong sehingga ia berenang persis ikan duyung.

Advertisement

“Tidak perlu kamu tahu siapa aku,” jawab perempuan itu.

Leli menatap mata indah si perempuan. Seperti Bunda, tetapi ada yang beda. Penuh cinta, tetapi juga tanya. Dan ia tidak henti bertanya dalam hati sepanjang si perempuan membimbing dan memberi arahan.

Jangan melewati batas, katanya. Nanti ditangkap bajak laut dan ditahan seratus tahun. Kamu tidak bisa lagi berenang selama itu. Mau?

Si perempuan—ia Putri Duyung, hanya saja Leli belum menyadari—tinggal tidak jauh dari sini. Di dasar laut dalam. Tempat itu dirahasiakan dari yang tidak percaya pada Putri Duyung atau yang setengah percaya. Barangsiapa percaya, bersiaplah ke sana dengan cara yang tak terduga. Sang putri menyimpan pengetahuan ini buat nanti, apabila Leli sudah menguasai kemampuan yang ia berikan.

***

“Duduk saja! Bikin repot!” kata Ayah.

Leli mengemasi baju renang yang belum basah. Tak pernah baju renang basah jika Bunda tidak mengantar. Ayah mengantar, sama dengan tidak ada basah-basahan. Tidak ada Bunda. Tidak ada teman-teman. Tidak ada air.

Advertisement

Leli tidak berharap punya Ayah bajak laut. Ia bayangkan seperti di komik, bajak laut membenci putri duyung. Mereka penjajah laut yang suka menembak putri duyung dan membunuh warga laut.

Bagaimana mungkin ia lahir dari seseorang yang membenci putri duyung?

Leli senang membayangkan ia lahir sebagai putri duyung di suatu istana di bawah laut. Dia dibesarkan raja laut bermahkota dan bertubuh setengah ikan. Raja itu ramah, bijak, dan tangkas memerangi bajak laut. Mereka menang hingga istana aman.

Setiap orang adalah ikan duyung dan setiap orang bisa berenang tanpa harus ada yang duduk di tepi kolam. Kita tahu, tidak ada ikan jalan-jalan di pantai. Maka tidak ada ikan yang harus terkucilkan karena hanya bisa melihat ikan-ikan lain berjalan di atas pasir, sementara dirinya tidak berkaki!

Leli merasa Ayah tidak senang padanya. Teman-teman punya Ayah yang baik dan sabar. Tidak seperti ayahnya, galak. Bajak laut, begitu ia memimpikan ayahnya, adalah tokoh tergalak yang merusak mimpi.

Kata Bunda, dahulu Ayah kecelakaan sehingga wajahnya buruk. Tapi Ayah orang yang baik, kata Bunda lagi. Leli tidak tahu bagaimana kecelakaan itu, tapi yang ia tahu Ayah tidak baik.

Teman-temannya tahu Ayah tidak membiarkannya renang. Ia dibentak dan disuruh duduk di tepi sampai waktu berakhir. Ia patuh dan tidak berani menangis karena Ayah terus menatapnya sampai baju renang yang diam-diam ia keluarkan dari tas kembali lagi harus terlipat.

Advertisement

“Awas kalau berani-beraninya renang, ya!” kata bajak laut lalu mengambil rokok dan pergi ke deretan penjual makanan.

Leli memandangi Ayah menjauh. Di komik, bajak laut bisa jatuh hati pada putri duyung dan mengajaknya menikah. Barangkali … Oh, tidak. Ia tidak berpikir jauh. Tetapi, masa? Kalau Bunda adalah sosok putri duyung, harusnya aku juga bisa menjadi putri duyung kecil dan berenang dengan baik?

***

“Senang?” Perempuan itu bertanya.

Leli mengangguk girang. Seluruh wajah dan badannya basah kuyup dan ia puas. Seharian ia berenang ke sana kemari tanpa Ayah, tanpa Bunda, dan tanpa pelampung. Tak ada yang menyuruhnya pulang. Tak ada tatapan iba. Setelah beberapa lama, mereka beristirahat di puncak sebongkah karang di tengah laut.

“Siapa kamu?” Leli lagi-lagi bertanya. Ia merayapi karang dan jatuh ke pelukan si perempuan. Aroma tubuhnya begitu terasa. Ia merasa berbaring di pelukan Bunda saja.

Putri Duyung mengelus-elus rambut Leli dan memandanginya. “Jangan kaget ya.”

Advertisement

Ia mengedipkan mata dan mencolek hidung Leli. “Ini aku, Nira si Putri Duyung.”

Leli melongo kemudian melompat dan memeluk Nira. Ia meresapi aroma amis, namun menawan dari tubuh licin sang putri. Terus saja Leli memeluk Nira dan bicara bahwa ia selama ini berharap ingin lahir sebagai putri duyung.

Saat mereka berpelukan, setengah tubuh bawah sang putri menjelma ekor ikan. Leli bahagia. Tapi, jawaban ini yang keluar: “Oh, tidak. Aku tidak yakin.”

Nira memalingkan wajah karena tak bisa mengabulkan sesuatu yang muluk-muluk. Leli memohon padanya agar mimpinya terwujud, menjadi putri duyung dan kalau bisa mengajak bundanya kemari.

“Bunda itu siapa?” tanya Nira.

“Bunda itu ibuku.”

“Ibu?”

Advertisement

“Iya. Ibumu di mana?”

Nira berpikir. Wajahnya terlihat sedih. Oh, Leli, seandainya kamu tahu aku tidak punya ibu, pikir si putri. Tetapi, karena ia tidak mau mengenang masa lalu, putri duyung ini mengalihkan perhatian Leli ke soal lain.

“Aku yakin kamu tidak sanggup jadi putri duyung.”

Leli tidak mengerti. Apa susahnya jadi putri duyung? Ia senang bisa berenang setiap hari tanpa dimarahi dan tanpa membuat Bunda menangis. Bahkan, Leli yakin kalau Ayah tahu ia bisa renang, mungkin saja bajak laut itu luluh dan tidak lagi menyuruhnya duduk di tepi kolam.

“Ayolah. Tolong aku!”

Nira lalu mengajak Leli berenang ke barat. Matahari tinggal separuh. Leli ingat kue ulang tahun yang dirusak seorang sepupu setahun lalu, persis di ulang tahun keenamnya.

Waktu itu, kuenya tinggal separuh dan matahari itu membuat Leli ingat kue yang sama, ingat Bunda, ingat rumah, ingat teman-teman, dan tentu saja ingat Ayah.

Advertisement

Apa Bunda dan Ayah tahu aku di sini?

***

Leli tidak yakin Bunda tahu Ayah lagi-lagi melarangnya ikut berenang. Nanti kalau waktunya klub selesai, bajak laut mengambil baju renang dan merendam baju itu di kolam sebelum akhirnya menyuruh Leli memasukkan lagi ke tas.

Itu sering terjadi dan Bunda tidak pernah tahu.

Ayah baik? Leli tidak percaya. Kenapa Bunda bohong? Ia tahu wanita itu baik dan percaya dahulu kala Bunda adalah putri duyung yang diculik dan ditawan bajak laut. Itulah kenapa Bunda bohong karena sampai hari ini takut menghadapi si bajak laut dengan senjata-senjatanya.

Leli tahu betapa besar pengaruh Ayah, terutama soal peraturan yang harus ditaati. Di depan Ayah, Bunda diam. Di kolam ini, jika Ayah tidak mengantar, Bunda mengajak Leli berenang walau tetap sama: anak itu tidak bertahan lebih dari lima menit.

Selama itu, ia diam di tempat tanpa bisa melakukan apa-apa. Kedua kaki terbenam dan Leli sering kali menyembunyikan air mata dengan membasuh wajahnya dengan air.

Ayah belum kembali. Dia belum makan sehingga butuh waktu banyak. Sebatang rokok habis dalam tiga menit di tangan Ayah. Itu di luar waktu makan. Kadang, bajak laut saat makan suka bicara dan bercanda lewat telepon. Ayah memang kasar dan seenaknya. Karena itulah Leli punya kesempatan.

Di tangannya sebuah boneka meringkuk lesu. Boneka yang telah kusut dan hampir lepas salah satu bola matanya.

***

Akhirnya Istana Putri Duyung mereka capai. Nira mengajak Leli menyelam hingga beberapa ratus meter ke dalam lautan setelah matahari benar-benar tumbang. Leli kira ia akan sulit bernapas karena kata bu guru, manusia tidak bisa bernapas di air.

“Kita bukan ikan!”

Aku jadi ikan sekarang karena sudah bisa berenang, katanya sendiri. Dan memang dia ikan, walau masih bertangan dan berhidung. Leli merasa ada perubahan di kakinya. Semakin lama berenang semakin kedua kakinya terasa gatal. Begitu Leli memandang bawah, ia tidak lagi melihat sepasang kaki yang dipasangi entah apa oleh dokter jelek. Yang ia lihat ekor bersisik sebagaimana yang ia temukan di tubuh Nira.

“Ya, ampun!”

“Selamat datang di Istana Putri Duyung. Sekarang kamu bagian dari kami.”

Nira mengajak Leli memasuki istana yang indah. Anak itu yakin harus mengajak Bunda kemari. Ini tempat asal Bunda. Lelai makin yakin, apalagi semenjak ia menjadi putri duyung, kalau Bunda bukan putri duyung, bagaimana mungkin dia putri duyung?

Nira membesarkan hati anak itu. Ditatapnya mata Leli lembut seperti cara Bunda menatap matanya. Seperti cara boneka ikan kesayangan menerima curahan hati. Mata yang sama-sama penuh cinta walau sunyi.

Demikianlah, Leli menyelam, berharap menemukan kehidupan baru di dasar laut yang tidak dikenal. Tanpa Bunda, tanpa teman-teman di klub renang, tanpa pelampung, dan tentu saja tanpa Ayah.

***

Esok harinya, Bunda bukan dijemput putri duyung ke rumah. Bunda mendapat telepon, tapi bukan dari raja laut yang ramah dan bijaksana, melainkan dari rumah sakit. Rumah sakit mengabarkan sang suami dalam kondisi kritis, sementara sang putri tidak bisa diselamatkan.

Bunda menangis. Sebenarnya beliau tahu bajak laut itu tidak suka Leli berenang karena memang berbahaya. Tapi, anak itu keras kepala. Bunda tidak tega. Bunda tahu Leli selamanya tidak mungkin berenang kecuali mengambang di pelukan pelampung dengan boneka ikan yang hampir copot matanya.

Hari itu, si anak diam-diam terjun sementara ayahnya membeli makan.

Seandainya Bunda tahu sebelum ke Istana Putri Duyung anaknya itu menangis. Tuhan tidak memberikan boneka nyawa sehingga boneka itu ditemukan kambang di tengah kolam,setelah semua anggota klub menangis memandangi tubuh lemah Leli digotong ke dalam ambulans.

 

Gempol, 2016-2024

 

Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, esai, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Dosa di Hutan Terlarang (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024).

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif