SOLOPOS.COM - Warga berebut isi gunungan ketupat pada perayaan Tradisi Syawalan di Bukit Sidoguro, Desa Krakitan, Bayat, Klaten, Rabu (17/4/2024). (Solopos/Dhima Wahyu Sejati)

Solopos.com, KLATEN — Tradisi Syawalan di Bukit Sidoguro, Desa Krakitan, Bayat, Klaten, berlangsung meriah dengan ribuan warga berebut gunungan ketupat, Rabu (17/4/2024). Tak sampai 10 menit, sebanyak 25 gunungan ketupat yang disediakan panitia ludes.

Masyarakat datang sejak pagi sekitar pukul 08.00 WIB. Mereka duduk di sekitar Bukit Sidoguro menunggu arak-arakan dimulai. Arakan gunungan ketupat baru dimulai sekitar pukul 10.00 WIB.

Promosi Selamat! Direktur Utama Pegadaian Raih Penghargaan Best 50 CEO 2024

Bupati  Klaten Sri Mulyani ikut berjalan di antara rombongan arak-arakan. Ada sekitar 25 gunungan ketupat dan sayur yang  diarak dengan iringan musik hadrah.

Acara dibuka dengan tarian tradisi dari Omah Wayang Klaten. Sejumlah perempuan yang mengenakan pakaian serba-oranye menari mengikuti irama lagu. Setelah itu gunungan ketupat dinaikkan di panggung. Warga yang hadir pun merangsek berdesakan ke dekat panggung.

Bupati Klaten, Sri Mulyani, kemudian memberikan sambutan pada acara tradisi Syawalan di Bukit Sidoguro itu. Namun, warga tampak sudah tidak sabar untuk berebut gunungan ketupat. Bahkan ketika Bupati Klaten belum selesai menutup pidato sambutan, warga sudah mulai berebut gunungan ketupat tersebut. 

Mereka langsung naik panggung, saling dorong dan berebut isi gunungan seperti ketupat, wortel, terung, dan lainnya. Sebagian warga yang berhasil naik panggung, kemudian melempar isi gunungan ke luar panggung.

Orang-orang di luar panggung pun antusias mengambil ketupat yang dilempar. Belum ada 10 menit, gunungan ketupat sudah habis. Warga yang hadir memiliki alasan tersendiri untuk berebut isi gunungan meski terik panas matahari terasa menyengat.

Salah satunya warga asal Klaten, Nur Aisyah, 46, yang baru saja mengikuti acara tersebut. Dia mengaku datang ke Bukit Sidoguro, Klaten, untuk mengikuti acara tradisi Syawalan itu sejak pukul 08.00 WIB.

Lantaran acara molor dari jadwal yang ditentukan, dia harus menunggu sampai dua jam. Dia ikut merebut dan mendapatkan satu kresek ketupat dan sayur-sayuran.

“Nanti ketupat digantung di pintu. Biasanya kalau orang Jawa itu ya, yang punya sawah itu biasanya taruh di situ. Kalau rumah ya digantung di pintu. Biar ada keberkahan, karena ya sama orang tua dulu diajarin gitu,” kata dia ketika ditemui selepas acara, Rabu.

Makna Ketupat

Menurutnya, acara syawalan seperti ini merupakan tradisi dari nenek moyang yang perlu dirawat. Dia ingin menjadi bagian dari tradisi tersebut dengan ikut memeriahkan tradisi syawalan yang rutin diadakan setiap tahun.

Hal senada diungkapkan warga Klaten lainnya, Riko Gunawan, 26, yang baru kali pertama itu ikut rebutan gunungan ketupat. Dia tampak kerepotan membawa ketupat tanpa tas kresek. “Nanti ini mau dimakan buat tahu kupat, langsung disantap,” kata dia.

Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Klaten, Sri Nugroho, mengatakan Syawalan di Bukit Sidoguro digelar bertujuan melestarikan tradisi Jawa sebagai penghormatan terhadap leluhur. 

Selain itu, dia berharap kegiatan tersebut menjadi sarana silaturahmi antarmasyarakat untuk saling memaafkan. Lebih jauh lagi dia ingin kegiatan syawalan seperti ini turut menggerakkan sektor pariwisata terutama di Bukit Sidoguro.

“Kegiatan ini diikuti dengan serangkaian acara seperti kirab gunungan ketupat sejumlah 25 [gunungan]. Menurut orang Jawa kupat merupakan akronim dari ngaku lepat. Juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan,” kata dia.

Dia menjelaskan tradisi syawalan sudah dimulai sejak abad ke-15 Masehi pada masa Raden Patah di Demak. Pada masa Walisongo, ketupat digunakan sebagai media dakwah, yang mana ketupat dijadikan simbol.

“Ketupat mempunyai makna yakni lebaran sebagai makna pintu memaafkan. Ketupat juga bermakna leburan atau melebur dosa yang dilalui selama satu tahun. Ketupat juga bermakna laburan yang berarti menyucikan diri atau menjadi putih kembali,” kata dia.

Sementara itu, Bupati Klaten, Sri Mulyani, mengatakan tradisi Syawalan merupakan warisan budaya. Menurutnya, hal itu perlu dilestarikan dan dirawat bersama. Selain itu dia mengatakan momen tersebut dimanfaatkan untuk saling memaafkan satu sama lain.

“Momen ini juga kami manfaatkan untuk saling berbagi, kami siapkan 25 gunungan ketupat, ditambah seribu paket ketupat siap makan untuk warga yang datang,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya