SOLOPOS.COM - Syifaul Arifin (Istimewa/Dokumen pribadi)

“Musuh terbesar itu adalah rasa takut.” Kalimat itu meluncur dari mulut Buya Ahmad Syafii Maarif. Sebagai cendekiawan, dia dikenal galak terhadap koruptor, penguasa yang menyimpang hingga kelompok yang suka melakukan kekerasan. Namun, kalimat itu Buya ucapkan sambil tangannya mengambil potongan tulang dalam sepiring tengkleng di warung  H. Kasdi, depan Stasiun Balapan, Jl. Monginsidi, Solo, Selasa (16/6/2015) siang.

Kalimat di awal tulisan itu tidak terkait politik. Kalimat itu adalah jawaban Buya atas pertanyaan saya kenapa masih berani makan daging kambing padahal usianya saat itu (2015) sudah 80 tahun. Dia lahir 31 Mei 1935 di Sumpurkudus, Sumatra Barat. Orang seusia dia rata-rata wajib menjaga pola makan, termasuk menghindari daging kambing. “Takut itu psikologis,” ujar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Buya Syafii makan siang di warung itu seusai mengisi talkshow Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo yang digelar Maarif Institute dan Jamaah Nurul Huda UNS. Sebenarnya moderator takshow itu sineas Garin Nugroho diajak makan siang bareng. Namun, Garin tak ikut karena harus pulang lebih dulu.

Dosen Sejarah UNS Waskito Widi Wardoyo yang jadi panitia talkshow mengajak Buya Syafii makan siang di warung sate kambing. Saya diajak ikut serta. Satu setengah tahun sebelumnya saat Syafii ke Solo, Widi juga mengajaknya ke warung sate H. Kasdi. Jadi, Widi  tahu warung sate kesukaan Buya. Tentu tak ada penolakan dari Buya saat ditawari makan siang tengkleng dan sate kambing.

Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif (Antara/Reno Esnir)

Awalnya Buya Syafii menikmati sepiring tengkleng, tulang yang dibalut sedikit daging dengan kuah encer warna kuning. Dia makan dengan cara muluk alias menggunakan  tangan. Sendok hanya untuk mengambil kuah dari piring tengkleng, memasukkannya ke piring nasi atau ke mulutnya.

Apakah Buya tak memiliki pantangan? “Tidak. [Penyakit] gula saja,” kata Buya Syafii. Segelas teh tawar menemani tengkleng, sate, nasi panas, dan kerupuk. Sensasi makan tengkleng salah satunya adalah mbrakoti tulang-belulang itu. Abaikan soal jaim (jaga imej). Yang penting enak.

Buya Syafii sering makan tengkleng dan sate. Saat sepiring  sate datang ke mejanya, dia mengambilnya satu tusuk, lalu diulangi beberapa kali. Saat ditawari  sate buntel, Syafii menolaknya. “Terlalu besar [ukurannya]. Ini saja.”

Sekitar setengah jam di warung itu, kami menemani Buya Syafii makan siang. Satu piring tengkleng di depan Buya Syafii tandas. Hanya tersisa sedikit kuah. Demikian pula sate.  Iseng-iseng saya tanya berapa sate yang dia makan. Dia lalu menghitung tusuk sate di depannya. “Satu, dua, tiga, empat, lima.”

Setelah minum, dia mengucap “Alhamdulillah” sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ada butir-butir keringat di wajahnya.

Di Solo, selain warung di depan Balapan, ada warung sate lain yang biasa didatangi. Dia tak hafal lokasi tepatnya, cuma menyebut dekat Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).

Ada dua hal yang tak bisa ditinggalkan oleh Buya Syafii yaitu kuliner dan bersepeda. Jika tak pergi ke luar kota, Buya Syafii selalu menyempatkan untuk gowes dari rumahnya di Perumahan Nogotirto, Gamping, Sleman. “Hampir setiap hari. Tak selalu pagi. Bisa juga sore. Tak tentu,” ujar Buya.

Jarak tempuhnya sekitar 6 km. Selama gowes itu, Syafii sering mampir. Betul, mampir ke warung makan. Banyak makanan dan warung yang dia coba. “Termasuk yang seperti ini,” kata dia sambil menunjuk sate.

Di samping itu, makanan kesukaannya adalah oseng-oseng. “Yang campur-campur,” jawabnya saat ditanya jenis oseng-osengnya.

Saat ke Solo, Syafii naik taksi sendirian dari rumahnya ke Stasiun Tugu pada pagi hari, lalu menumpang KA Malioboro. Seusai acara, dia juga memilih naik KA Prameks pada pukul 14.00 WIB. Setelah menikmati tengkleng dan sate di warung H. Kasdi, dia tinggal berjalan ke Stasiun Balapan. Tak ada yang menemani, kecuali para penumpang KA.

Fajar Riza Ul Haq dari Maarif Institute mengatakan Syafii sering tak mau dijemput pakai mobil. Saat bepergian jauh, Buya Syafii terkadang membawa tongkat dari stainless untuk membantunya berjalan. Dia yakin kekhawatiran dan rasa takut itu bisa dia lawan, termasuk dalam hal makanan.

Buya Syafii  berpulang pada usia 86 tahun. Seharusnya, 31 Mei 2022 Buya berulang tahun. Kita kehilangan sosok guru yang menjaga moral bangsa. Kalimat “Musuh terbesar itu adalah rasa takut” tak hanya Buya Syafii praktikkan dalam berkuliner, tapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia sering bersikap keras. Kepada koruptor, elite politik  yang culas, hingga orang-orang yang sering melakukan kekerasan atas nama agama. Tak ada rasa takut. Bahkan Buya Syafii berani dianggap tak populer gara-gara kritikan kerasnya itu. Selamat jalan Buya Syafii  yang menjadi muazin bangsa.

Tulisan lama ini diolah kembali dengan momentum wafatnya Ahmad Syafii Maarif. Ditulis oleh Syifaul Arifin

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya