SOLOPOS.COM - Ilustrasi garis polisi (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/SOLOPOS)

Aksi sweeping yang marak terkait atribut non-Muslim dinilai karena dipicu salah paham dalam menyikapi fatwa MUI.

Solopos.com, JAKARTA — Aksi penyisiran (sweeping) penggunaan atribut agama lain terhadap karyawan beragama Islam yang dilakukan sejumlah ormas dipicu kesalahpahaman fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait larangan adanya pemaksaan penggunaan atribut tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sweeping ini kan saya sudah sampaikan berawal dari fatwa MUI ya,” kata Kapolri Jendral Tito Karnavian usai melantik 21 perwira tinggi di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (20/12/2016), dikutip Solopos.com dari Okezone.

Oleh karena itu, Tito menegaskan bahwa fatwa MUI bukan merupakan suatu aturan yang dijadikan referensi. “Kemarin sudah saya sampaikan pernyataan bahwa fatwa MUI ini bukan hukum positif sehingga tidak bisa menjadi referensi bagi produk hukum yang menjadi domain Polri untuk ditegakkan karena Polri adalah penegak hukum positif,” tuturnya.

Meski demikian, Polri tetap menghargai tujuh poin fatwa MUI yang diterbitkan beberapa hari lalu. “Yang bisa kita lakukan adalah untuk bahan koordinasi. Kita menghargai fatwa MUI, tapi itu adalah bahan koordinasi,” ucapnya.

Meski demikian, Polri juga mengamini tidak ada pemaksaan yang dilakukan oleh instansi atau perusahaan terhadap karyawan yang mengenakan atribut tersebut.

“Yang paling penting adalah tidak boleh ada pemaksaan kepada karyawan harus menggunakan atribut tertentu, dipaksa nanti akan dipecat. Nah, ini yang perlu disosialisasikan seperti itu. Tapi tidak boleh ormas-ormas kemudian berupaya membuat tindakan-tindakan sendiri yang mengganggu hak asasi masyarakat, ketertiban masyarakat atas nama menegakkan fatwa MUI,” tuturnya.

Berikut ini tujuh poin penjelasan fatwa MUI tersebut:

1. Terbitnya Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016 tanggal 14 Desember 2016 tentang Hukum Menggunakan Atribut Non-Muslim perlu dihormati bersama.
2. Instansi terkait untuk dapat mensosialisasikan maksud dari fatwa tersebut, pemda, kepolisian, bahkan MUI sendiri atau lembaga-lembaga yang lain.
3. Berikan pemahaman kepada para pengelola mal, hotel, usaha hiburan, tempat rekreasi, restoran, dan perusahaan agar tidak memaksakan karyawan atau karyawati yang muslim untuk menggunakan atribut non-Muslim.
4. Semua pihak mencegah dan tindakan main hakim sendiri, MUI meminta bahwa rekomendasi pertama dari fatwa 56 itu justru hormati keberagaman agama yang ada di Indonesia dan hormati kerukunan umat beragama yang ada. Oleh karena itu tidak boleh melakukan sweeping baik oleh siapa pun, apalagi menggunakan fatwa ini untuk melakukan tindakan tegas terhadap siapapun yang melakukan aksi sweeping dan tindakan main hakim sendiri.
5. Koordinasi antarinstansi terkait untuk melakukan langkah antisipasi terhadap kerawanan yang akan timbul dengan melibatkan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda.
6. Semua pihak agar tetap mematuhi ketentuan hukum yang berlaku karena negara kita merupakan negara hukum. Ingat, jangan main hakim sendiri, kedepankan hukum, dan serahkan kepada pihak kepolisian.
7. Mari kita semua tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta beragama.
Tujuh poin ini selaras dengan Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016. Demikian kurang lebihnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya