SOLOPOS.COM - Suwarso (JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi)

Suwarso (JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi)

Mengubah cara berpikir petani konvensional ke satu hal yang baru memang bukan perkara mudah. Namun bagi Suwarso, hal itu menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk mengubah cara berpikir petani yang masih menggunakan pupuk kimia ke pupuk organik.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Karanganyar ini, melalui pertanian organik maka petani bisa berinvestasi. “Kalau konvensional, biasanya biaya produksi tidak bisa diprediksi. Apalagi setelah panen, nanti hasilnya juga tak bisa diprediksi,” ujar Suwarso saat berbincang dengan Espos di Balaidesa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu.

Ia selalu mengajak kepada para petani agar membuat pupuk sendiri dengan memanfaatkan kotoran hewan ternak. Dengan demikian, maka ongkos produksi bisa ditekan. Bahan yang paling banyak digunakan yakni kotoran sapi, dicampur dengan eceng gondok yang bisa menyerap racun serta daun rondo kempling sebagai pengganti pupuk urea karena kandungannya sama. Selain itu selama ini HKTI Karanganyar juga menggelar pelatihan membuat kandungan kalsium untuk tanaman, menggunakan tepung tulang. “Semua tulang bisa digunakan, tapi harus melalui proses dioven sampai 180 derajat dan nanti akan menjadi tepung dengan sendirinya,” ujar Suwarso yang juga Kepala Desa Ngijo tersebut.

Namun saat ini para petani masih perlu disadarkan, sebab tidak semua petani mau beralih dari cara konvensional ke cara yang ramah lingkungan. Selama ini, HKTI Karanganyar juga tengah mengenalkan penggunaan bakteri sebagai penumbuh tanaman. “Konsepnya dari hutan liar di Kalimantan. Di sana banyak tumbuhan lebat dan subur yang tinggi-tinggi. Ternyata dalam tanahnya terdapat kandungan bakteri tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Konsep itu akan diadopsi ke dalam tanaman generatif,” kata pria kelahiran Karanganyar, 10 Agustus 1970 ini.

Memang, kata suami Titik Ariningsih ini, jika menggunakan pupuk organik, hasilnya akan turun 50 persen. Hal itu sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperluas jaringan penjualan, sehingga harganya bisa lebih mahal dari tanaman non organik. Ia sendiri sudah mencobanya dan hasilnya memang turun hampir 50 persen dari biasanya. Namun hal itu bisa ditanggulangi dengan penjualannya. Kerja sama yang dilakukan, yakni dengan HKTI Salatiga. “Jadi selain hasil pertanian baik, lingkungan juga ikut terawat. Untuk kesehatan manusia juga baik,” ujar ayah Aida Putri Annisa ini.

JIBI/SOLOPOS/Farid Syafrodhi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya