SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA – Tsunami menerjang pesisir Banten dan Lampung, Sabtu 22 Desember malam, terindikasi akibat erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Kepala Pusat Informasi dan Humas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan ini termasuk fenomena alam langka.

“Feomena tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus, namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigaikan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu,” kata Sutopo melalui akun Twitternya, Minggu (23/12/2018). “Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian,” tulis akun @Sutopo_PN itu.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Sutopo sempat menyatakan tidak ada tsunami di Banten, lalu kicauan itu dihapus karena ada kesalahan informasi. “Saya mohon ijin. Twitt di awal yang mengatakan tidak ada tsunami saya hapus. Agar tidak membingungkan. Kesalahan awal terjadi karena mengacu data dan informasi dari berbagai sumber bahwa tidak ada tsunami. Namun sudah direvisi karena mengacu data dan analisis terbaru.”

BNPB mencatat bahwa hingga pukul 10.00 WIB tadi, jumlah korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda sudah 62 orang, 584 orang luka dan 20 orang hilang. Ratusan rumah dan bangunan rusak. Alat berat dikerahkan ke lokasi untuk membantu evakuasi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengindikasikan bahwa tsunami yang menerjang Banten dan Lampung terjadi akibat erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Pukul 21.03 WIB malam tadi terdeteksi bahwa ada erupsi Gunung Anak Krakatau.

Kepala Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa tipe dan pola gelombang tsunami di Selat Sunda mirip dengan tsunami yang menyapu wilayah Palu, Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah pada akhir September lalu.

“Polanya mirip gelombang tsunami yang terjadi di Palu, sehingga kami koordinasi dengan badan geologi,” kata Dwikorita.

Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kasbani mengatakan, penyebab tsunami di Selat Sunda akibat letusan Gunung Anak Krakatau masih harus didalami lagi.

“‎Hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami, pertama saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami,” ujarnya.

Kemudian, ‎material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu. Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masive (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.

“Dan untuk merontokan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunung api. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya