SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, JAKARTA — Advokat dan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana masih memperlihatkan kepercayaannya pada mekanisme hukum untuk memprotes tudingan kecurangan Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.

Dari Rumah Tahanan Polda Metro Jaya, Eggi menuliskan surat bantahan telah melakukan tindak pidana makar dalam rangka memprotes hasil Pilpres 2019. Menurutnya, terminologi people power yang pernah terlontar adalah unjuk rasa ke Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 9-10 Mei 2019.

Promosi BRI Sambut Baik Keputusan OJK Hentikan Restrukturisasi Kredit Covid-19

“Walaupun saat itu saya tidak boleh masuk ke Bawaslu tapi saya tidak memaksakan diri untuk masuk ke Bawaslu, jadi bukan makar,” ujarnya dalam surat tertanggal 28 Mei 2019 itu.

Eggi menambahkan gerakan people power telah berakhir karena pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mengajukan permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Politikus PAN itu pun mengaku tidak tahu bila berlangsung people power setelah 9-10 Mei 2019.

“Bahwa selanjutnya saya mengimbau kepada masyarakat untuk mengikuti langkah Paslon 02 ke jalur MK,” tulis Eggi.

Sebagai seorang advokat, Eggi memang tidak asing dengan perkara di MK. Bahkan, sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan makar, dia menjadi kuasa hukum calon anggota DPRD DKI Jakarta asal PAN, Lucky Andriyani, kala menggugat UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada 15 Maret 2019.

Norma yang diuji adalah Pasal 285 UU Pemilu mengenai sanksi bagi calon anggota legislatif (caleg) yang melakukan pelanggaran kampanye. Bentuk sanksi itu adalah pembatalan nama caleg dari daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai caleg terpilih berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Eggi mengatakan kliennya meminta pasal tersebut ditafsirkan MK hanya berlaku bila putusan pengadilan menyatakan telah mencabut hak politik sang terpidana. Menurut dia, penafsiran tersebut dapat menjamin kepastian hukum yang adil di hadapan hukum.

Sayangnya, MK menganggap Eggi tidak serius dalam perkara tersebut. Meskipun pemohon hadir pada sidang pemeriksaan pendahuluan 2 April, tetapi sidang perbaikan permohonan 15 April tidak dihadiri baik oleh pemohon maupun kuasa hukumnya.

Selain itu, MK menilai permohonan tersebut tidak memuat identitas pemohon, melainkan hanya memuat nama kuasa. Padahal, berdasarkan hukum acara di MK, permohonan harus memuat nama dan alamat pemohon.

“Karena permohonan pemohon tidak memuat identitas pemohon prinsipal, maka permohonan pemohon adalah tidak memenuhi syarat formal permohonan, sehingga menurut Mahkamah permohonan yang demikian adalah kabur,” tulis MK dalam Putusan MK No. 23/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada 20 Mei.

Pada 2014, Eggi tercatat sebagai kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kala mengajukan sengketa hasil Pilpres 2014. Namun, Eggi dan 134 advokat lain saat itu tidak bisa meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan Prabowo-Hatta.

Selain sebagai kuasa hukum, Eggi juga kerap bertindak sebagai pemohon pengujian sejumlah UU ke MK. Eggi adalah pemohon uji materi delik penghinaan presiden atau wakil presiden yang akhirnya dibatalkan MK pada Desember 2006.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya