SOLOPOS.COM - Beberapa hasil kerajinan bambu Sunarto yang ada di workshop-nya di Dusun Karang Asem, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Senin (18/6). (JIBI/Harian Jogja/Annisa Margrit)

Beberapa hasil kerajinan bambu Sunarto yang ada di workshop-nya di Dusun Karang Asem, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Senin (18/6). (JIBI/Harian Jogja/Annisa Margrit)

Siapa sangka kalau perabot rumah tangga dari anyaman bambu bisa diekspor ke luar negeri? Di tangan Sunarto, bambu menjadi sesuatu bernilai tinggi dan sampai ke luar negeri.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Sunarto, perajin dari Dusun Karang Asem, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabuaten Bantul memilih bambu untuk diolah menjadi barang bernilai tinggi.

“Saya memang berkeinginan memberi nilai tambah terhadap kerajinan bambu di sini. Kenapa kerajinan dari Kasongan bisa dikenal sampai ke luar negeri tapi produk di sini tidak?” katanya ketika Harian Jogja menyambangi rumah sekaligus workshop-nya di Karang Asem, Senin (18/6).

Keluarga Sunarto sudah berkecimpung di dunia kerajinan bambu sejak lama. Ayahnya dulu pengepul produk-produk anyaman di daerahnya. Kalau dulu kerajinan bambu yang dihasilkan hanya berupa tampah, besek, atau perabot rumah tangga lainnya, maka sekarang produknya semakin beragam. Sunarto membuat box set (kotak penyimpan serba guna), tempat lilin, vas bunga, kap lampu dan keranjang berbagai bentuk.

Meneruskan usaha keluarga sejak 1998, Sunarto kemudian menitipkan hasil-hasil kerajinannya di perusahaan perdagangan (trading) di Jogja. Oleh perusahaan-perusahaan tersebut, produk-produknya dikirimkan ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Spanyol dan Inggris.

Untuk pasar lokal, Sunarto hanya membuat perabot rumah tangga seperti tampah, besek, dan beberapa variasi keranjang serta box set. Barang-barang tersebut disebarkan ke Bandung, Surabaya, Lampung, serta Sulawesi.

Harga untuk lokal dan ekspor pun berbeda. Jika harga tampah biasa untuk lokal dijual seharga maksimal Rp10.000 per buah, maka untuk ekspor dilepas dengan harga tiga kali lipat. “Barang-barang untuk ekspor kualitasnya lebih bagus karena pengerjaannya lebih teliti dan desainnya lebih unik. Karena itu, rata-rata harganya tiga kali lebih tinggi dari yang lokal,” sebut Sunarto.

Tiap dua bulan, dia mengirimkan satu kontainer produk-produk kerajinannya ke berbagai negara. Itu setara dengan lima sampai tujuh ribu set kerajinan. Untuk tujuan lokal biasanya dikirimkan tiap dua minggu sampai satu bulan.

Biasanya, para pengepul datang langsung ke Dlingo dengan membawa truk. Tiap pengepul bisa mengambil sekitar lima ribu set. Dengan pesanan yang terus datang, sekali pengiriman ke luar negeri Sunarto setidaknya bisa mendapatkan Rp200 juta.

Nominal yang didapat Sunarto cukup menggiurkan. Namun, apakah Sunarto juga menemui risiko dalam profesinya? Menurut dia, kalau pesanan sangat banyak, Sunarto menarik tenaga tambahan dari penduduk sekitarnya.

“Jadi perajin banyak risikonya. Kalau pelanggan tidak suka dengan desain kita, mereka akan minta revisi. Biaya revisi hampir sama besarnya dengan biaya produksi,” tutur Sunarto. Jika barang rusak di jalan atau berjamur, imbasnya Sunarto memotong harga jual barang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya