SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- ”Diterdjemahkan!!! (sic) Dimelajoekan!!!” (Foulcher, 2000). Demikian bunyi tuntutan sejumlah anggota delegasi Kongres Pemuda II kepada Soegondo Djojopoespito selaku pemimpin kongres ketika beberapa panelis dan wakil delegasi lain masih tetap menggunakan bahasa Belanda dalam berinteraksi di antara mereka. Peristiwa ini diberitakan oleh Fadjar Asia pada 1928.

Tuntutan itu tentu cukup mengejutkan karena sebagian delegasi yang hadir adalah para pemuda terpelajar yang dalam pergaulan sehari-hari sudah terbiasa dengan ”bahasa persatuan”, yakni bahasa Belanda. Penting untuk dicatat bahwa rumusan ikrar dalam Sumpah Pemuda disusun dengan kepentingan (politis), sebagaimana ditunjukkan Ben Anderson dalam buku Kuasa-Kata, Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia (2000), yaitu mencari suatu bahasa persatuan yang bukan bahasa penjajah.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Artinya, generasi pertama Indonesia modern yang dikenal sebagai Angkatan 1928 itu sedang berupaya keluar dari jebakan politik devide et impera (memecah belah). Syukurlah, bahasa bersama (lingua franca) yang telah berabad-abad menjadi bahasa perantara di kepulauan Nusantara secara ideal cocok dengan tujuan pencarian itu.

Itulah bahasa Melayu yang tidak saja menjadi bahasa di dunia perniagaan, melainkan juga dalam politik dan sastra. Lantas, bagaimana dengan bahasa ibu atau bahasa daerah seperti bahasa Jawa misalnya? Sejarah telah mencatat bahwa selama tiga dasawarsa sebelum Sumpah Pemuda, bahasa Melayu telah menggeser, bukan mengganti apalagi menghilangkan, bahasa-bahasa ibu atau bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa.

Jadi, bahasa ibu tetaplah digunakan dalam pergaulan hidup lokal sehari-hari, namun ketika berjumpa dengan kelompok-kelompok etnolinguistik lain, bahasa Melayulah yang dipraktikkan secara bersama-sama. Hal inilah yang membuat para nasionalis Indonesia bersumpah demi menumbuhkan nasionalisme sebagai kesadaran sebagai suatu bangsa.

Bahasa Persatuan

Bangsa yang dibentuk oleh bahasa persatuan, bahasa tanpa seragam. Artinya, bahasa itu tidak membuat orang-orang saling mencerminkan dan saling menyebabkan rasa rikuh (Siegel, 2009). Dalam konteks ini, ada temuan menarik bahwa bahasa persatuan yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda belumlah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari, khususnya di antara para peserta Kongres Pemuda.

Artinya, meski bahasa pengantar yang ditetapkan dalam Kongres Pemuda II adalah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, namun kebanyakan peserta yang adalah pemuda terpelajar pada 1920-an masih kerap berinteraksi dengan bahasa Belanda. Maka tak mengherankan berdasar laporan Van der Plas: pemimpin kongres, pelajar Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kehilangan otoritas.

Ia mencoba berbicara bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu membuktikan dirinya mampu melakukannya dengan baik. Maka kemunculan penolakan diam-diam dan berujung pada tuntutan untuk menerjemahkan bahasa Belanda ke dalam bahasa Melayu tak bisa dihindari.

Syukurlah, tuntutan itu dikabulkan dengan menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan tatkala tengah diresolusikan melalui sebuah sumpah oleh Muhammad Yamin. Resolusi itu ditentang oleh Mohammad Tabrani Soerjowitjitro yang menyatakan,”… bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu” (Reksodipuro, 1974).

Penentangan itu pun berdampak pada Sumpah Pemuda terutama pada butir ketiga yang dirumuskan dengan kata-kata ”menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Hal itu didasari argumen bahwa bahasa Indonesia pada dasarnya tidak beroposisi terhadap bahasa daerah.

Dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1938 penyebarluasan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan semakin tak terbendung dan berlanjut hingga ke masa-masa sesudahnya. Seperti dicatat Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006), pada 1938 bahasa Indonesia juga telah digunakan secara umum dan luas.

Tanpa Polesan

Partai Indonesia Raya dan para anggota pribumi di Volksraad (badan penasihat gubernur jenderal di Hindia Belanda), misalnya, telah memutuskan, bahkan memerintahkan, untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berbicara dan semua pernyataan umum mereka. Hanya saja, bahasa Indonesia yang digunakan itu adalah bahasa Melayu yang telah dibakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Volkslectuur (Bacaan Rakyat) serta penerbit Balai Poestaka.

Dengan kata lain, itulah bahasa ”Melayu Tinggi” atau ”Melayu Ophuijsen”, sesuai dengan nama insinyur bahasa penciptanya. Di sinilah agaknya proses ”kramanisasi” bahasa mulai berlangsung dan berlanjut turun-temurun.  Masuk akal jika bahasa Indonesia yang baik dan benar, atau berdasar ejaan yang disempurnakan mulai diindoktrinasikan sebagai bahasa yang resmi.

Itu artinya, di luar bahasa itu hanya merupakan ”bahasa tanpa nama” yang oleh pemerintah kolonial Belanda dikategorikan sebagai haatzaai (menyebar kebencian) dengan sanksi dipenjara atau dibuang ke kamp interniran seperti Boven Digul. Mas Marco adalah salah seorang korban yang dikenai pasal itu karena bahasa yang dianggap ”seperti China” (”koyok Cina”) setara dengan ”Melayu Rendah”, ”Melayu Betawi”, atau ”Melayu bazaar (pasar)”.

Uniknya, pada masa kini pun bahasa sejenis itu masih tumbuh dan berkembang, termasuk di berbagai media sosial yang saat ini tengah menggurita. Bahasa media sosial yang bukan untuk memecah belah, tetapi sekadar menggores dan meretakkan apa yang telah dipoles dan diperhalus oleh bahasa yang resmi, justru dapat menjadi alat atau simbol pemberontakan.

Seperti bahasa Mas Marco yang ”cerdas” dan ”tajam”, bahasa media sosial itu bersifat ”cepat” dengan logika peredaran tak terbatas. Mirip dengan ”bahasa campuran”, ”bahasa oblok-oblok”, ”bahasa campur aduk”, yang oleh Sarmidi Mangunsarkoro pada 1939 didukung sebagai bahasa yang tidak hanya memiliki satu rasa dengan sifat gado-gado, mengeltaalmischprache.

Bahasa Indonesia yang tanpa polesan dan seragam itulah yang semoga tidak membuat orang merasa kehilangan rasa hormat, apalagi mudah dibelokkan dan dibalikkan, sebagai pemecah belah persatuan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya