SOLOPOS.COM - PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR YOGYAKARTA Seorang warga dengan alat berat menyelesaikan pembuatan tambak udang di kawasan pesisir pantai selatan, Srandakan, Bantul, Yogyakarta, Jumat (17/1). Dalam setengah tahun terakhir kawasan yang merupakan Sultan Ground atau tanah Keraton Yogyakarta tersebut mulai dikembangkan menjadi tambak yang dikelola secara pribadi maupun kelompok karena dipandang mempunyai peluang besar untuk membangun perekonomian setempat. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/

Sultan Ground dinilai menjadi ancaman penggusuran.

Harianjogja.com, BANTUL– Warga Pantai Parangkusumo, Kretek, Bantul menolak mengakui keberadaan Sultan Ground (SG). Klaim terhadap SG dinilai menjadi salah satu penyebab ancaman penggusuran warga di wilayah ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Warga Parangkusumo yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) mengklaim mereka tidak tinggal di lahan SG melainkan tanah negara. Pernyataan itu merespons rencana restorasi gumuk pasir di area Pantai Parangkusumo, Depok dan Parangtritis yang bakal menggusur sebagian permukiman dan lahan warga di wilayah ini. Sebagian besar area restorasi gumuk pasir itu diklaim pemerintah sebagai lahan SG yang setiap saat dapat digunakan oleh Pemerintah DIY.

“SG tidak ada di DIY yang ada adalah tanah negara. Saya berani berdebat dengan siapapun. Ayo kita kaji aturannya sama-sama kalau berani,” tegas Ketua ARMP Watin, Kamis (15/10/2015).

Sejak Raja Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan bergabung dengan NKRI, maka di DIY mutlak berlaku Undang-undang Pokok Agraria yang mengamanahkan lahan bekas jajahan Belanda yang bukan berstatus hak milik warga adalah tanah negara.

Hal itu diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) DIY No.5/1954 tentang hak atas tanah dan tanah bekas SG serta Pakualaman Ground (PAG). Sejak saat itu pula, tanah di luar hak milik masyarakat yang ada di Jogja adalah tanah negara. Itu pula sebabnya, tidak lama setelah itu Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) berdiri di DIY untuk menjalankan amanah Undang-undang Pokok Agraria.

Kendati saat ini, pemerintah menurut Watin hendak menghidupkan SG dan PAG melalui Undang-undang Keistimewaan DIY, dengan mengklaim tanah negara adalah lahan SG dan PAG. Klaim terhadap SG tersebut selama ini menjadi dalih pemerintah berkali-kali menggusur warga Parangkusumo yang tinggal di tanah negara tersebut.

“Dulu 2010 terjadi penggusuran, sebelumnya tahun 1990-an juga sama katanya Parangtritis ingin dijadikan Bali II. Sekarang muncul lagi proyek restorasi gumuk pasir,” papar warga Bantul tersebut. Warga Parangkusumo menurutnya siap berhadapan dengan pemerintah bila harus digusur.

Tidak tahan terus dirong-rong penggusuran, warga lalu mengadukan persoalan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Senin (12/10) lalu, rombongan Komnas HAM datang ke Parangkusumo untuk menyerap aspirasi warga.

Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Pemkab Bantul Danang Erwanto mengatakan, SG dan PAG kini berlaku di DIY. “Dasarnya jelas ada di Undang-undang Keistimewaan,” terang Danang Erwanto. Pasal 32 ayat 1 dan 2 Undang-undang Keistimewaan menyatakan Kasultanan (Kraton Jogja) dan Kadipaten Paku Alaman dinyatakan sebagai Badan Hukum yang merupakan subjek hak yang mempunyai hak milik atas SG dan PAG.

Danang menambahkan, saat ini Pemerintah Daerah telah mendata keberadaan lahan SG di Bantul. Ia mengklaim, pendataan lahan SG telah mencapai 80%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya