Sultan Ground dan Paku Alam Ground memerlukan badan hukum.
Harianjogja.com, JOGJA — Kritikan mengenai penandatanganan perjanjian antara Kraton Yogyakarta dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menuai kritik. Kraton dinilai masih belum memiliki status kelembagaan yang jelas dan masih terjadi perbedaan pandangan dalam urusan pertanahan di DIY.
Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis
Wakil Ketua DPRD DIY Arief Noor Hartanto menyatakan sampai sekarang masih belum ada Perda Istimewa tentang pertanahan yang bias menjadi dasar dilakukannya inventarisasi Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG).
Inventarisasi lahan SG dan PAG saat ini dilakukan berdasarkan adanya Perdais Induk. Namun Perdais induk tak mengatur secara rinci mekanisme inventarisasi dan proses pendaftaran. Padahal proses yang dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat berpotensi menimbulkan polemik kala terjadi pertentangan selama inventarisasi berlangsung.
“Ini bukan mau memperkeruh, tapi perlu ada kritik supaya penataan itu bisa berjalan lebih baik,” tutur dia.
Penandatanganan perjanjian yang dilakukan antara Kraton Yogyakarta dan Pemkab Gunungkidul itu dilakukan Selasa (21/6/2016) lalu. Dalam perjanjian itu pihak Kraton memberikan kuasa kepada Pemkab Gunungkidul untuk menata kawasan sempadan pantai yang ada di area SG di pantai selatan Gunungkidul.
Kuasa hukum Kraton Yogyakarta KRT Nitinagoro mengatakan setelah perjanjian dengan Pemkab Gunungkidul dilakukan selanjutnya mereka akan melakukan perjanjian serupa dengan Pemkab Bantul. Penandatanganan itu juga tak hanya melibatkan Pemkab dan Kraton, melainkan juga para perwakilan pengusaha pantai dan tim penegak Perda DIY tentang Rencana Zonasi Wilayah pantai dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
“Tujuannya untuk menata agar pedagang mematuhi garis sempadan pantai yang sudahd itetapkan dalam Perda,” tandas dia.