SOLOPOS.COM - Tersangka kasus suap hakim PTUN Medan yang juga istri Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho, Evy Susanti (kedua kanan), dan saksi mantan anak buah O.C. Kaligis Yurinda Tri Achyuni alias Indah (kanan) memberikan kesaksian pada sidang lanjutan kasus itu dengan terdakwa Panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (17/9/2015). Selain menghadirkan Evi dan Indah sebagai saksi, JPU KPK juga menghadirkan tersangka dan anak buah Kaligis M. Yagari Bhastara alias Gerry. (JIBI/Solopos/Antara/Agung Rajasa)

Suap hakim PTUN Medan disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Gatot Pudjo Nugrogo curhat tentang penetapan tersangka di Kejaksaan Agung.

Solopos.com, JAKARTA — Gubernur Sumatra Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, dalam sidang pemeriksaan kasus suap hakim PTUN Medan, mengeluhkan mengenai penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pertama, dia mempermasalahkan surat panggilan dari Kejakgung pada Maret 2015.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Sekitar Maret 2015 saya masih di ruangan di kantor gubernur, lalu kedua staf saya menunjukkan surat panggilan permintaan keterangan dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Saya yakin dan ingat betul surat panggilannya itu di atas ada kop Kejakgung,” katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (10/2/2016).

“Di kanan atas nama Pelaksana Tugas Harian (Plh) Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala Biro Keuangan Ahmad Fuad Lubis, lalu di sebelah kiri ada nomor, lampiran, perihal yang menyatakan permintaan keterangan kepada 2 staf saya terkait ‘Dugaan korupsi Gatot Pujo Nugroho Gubernur Sumut’ dengan huruf kapital dan ‘underline’,” lanjut Gatot.

Gatot diperiksa bersama istrinya, Evy Susanti, yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pemberian suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan serta suap kepada mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem, Rio Capella.

“Karena hal itu, praktis saya sampaikan agar memenuhi panggilan dan didampingi pengacara. Saya ingat kalau saya punya jatah 40 jam setiap bulan dengan Pak OC [Kaligis], yang tidak dipergunakan staf saya. Jadi saya perintahkan untuk bertemu ke Pak OC Kaligis,” tambah Gatot.

Gatot memang punya perjanjian pendampingan penasihat hukum dengan kantor pengacara OC Kaligis selama 5 tahun, yaitu September 2013-September 2018, dengan membayar Rp600 juta setiap bulan. Gatot mendapat jatah konsultasi hukum baik sebagai pribadi maupun Gubernur Sumut selama 40 jam per bulan.

“Kondisi kejiwaan saya pada waktu staf saya kabiro keuangan dan Plh Sekda dimintai keterangan dengan isu empat hal yaitu Dana Bantuan Sosial [Bansos], Bantuan Daerah Bawahan [BDB], Bantuan Operasional Sekolah [BOS] dan tunggakan Dana Bagi Hasil [DBH], saya secara kejiwaan relatif biasa-biasa saja karena sudah dilakukan kajian oleh Pak OCK dan staf ahli menteri dalam negeri dan kemudian akhirnya memutuskan Pak OC Kaligis untuk menjadi penasihat hukum pribadi dan setelah curhat suami ke istri,” ungkap Gatot.

Akhirnya, pada 1 April 2015, Ahmad Fuad Lubis dan Sabrina menemui OC Kaligis dan pada 2 April keduanya diperiksa oleh Kejaksaan Agung. “Tapi tidak ada laporan dari Ahmad Fuad Lubis dan Sabrina mengenai materi pemeriksaan,” tambah Gatot.

Dalam perkara ini, Gatot dan Evi didakwa menyuap hakim dan panitera PTUN Medan senilai total 27.000 dolar AS dan 5.000 dolar Singapura untuk mempengaruhi putusan terkait pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Gatot dan Evy juga didakwa menyuap mantan anggota Komisi III DPR 2014-2019 dari partai Nasdem Patrice Rio Capella sebesar Rp200 juta melalui Fransisca Insani Rahesti. Tujuannya, agar Rio Capella mengunakan kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kejakgung selaku mitra Kerja Komisi III DPR.

Gatot dan Evy didakwa pasar berlapis yaitu pasal 6 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Ancaman ancaman pidananya adalah penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Selain itu, dia juga dijerat pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman penjaranya paling singkat 1 tahun paling lama 5 dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya