SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (26/2/2019). Esai ini karya Anton A. Setyawan, Doktor Ilmu Manajemen dan dosen di Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah anton.setyawan@ums.ac.id.

Solopos.com, SOLO — Debat calon presiden pada 17 Februari 2019 lalu berlangsung cukup menarik. Salah satu tema menarik dalam debat tersebut adalah tentang ketahanan pangan. Calon presiden petahana Joko Widodo menyebut agar produk pertanian bisa dipasarkan melalui marketplace.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Strategi ini perlu agar petani bisa mendapatkan harga yang lebih baik dan bisa menikmati nilai tambah ekonomi dari produk pertanian. Apa yang disampaikan  calon presiden petahana ini merupakan niat untuk mendorong industri pangan masuk ke bisnis digital.

Calon presiden Prabowo Subianto menyampaikan perlunya stabilitas harga pangan agar para petani tidak dirugikan oleh fluktuasi harga. Dua isu yang disampaikan calon presiden petahana Joko Widodo dan calon presiden Prabowo Subianto sebenarnya relevan dengan kondisi ketahanan pangan di Indonesia saat ini.

Data Badan Pusat Statistik menjelaskan pada Agustus 2018 impor beras Indonesia mencapai dua juta ton. Secara sederhana hal ini bisa diartikan sektor pertanian di Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan pangan.

Selain itu, hampir setiap tahun beberapa komoditas pangan mengalami fluktuasi harga yang merugikan konsumen dan tidak memberikan keuntungan kepada petani, misalnya harga cabai, harga bawang merah, harga daging sapi, harga telur ayam, dan harga daging ayam.

Fluktuasi harga beberapa komoditas tersebut ternyata diakibatkan rantai pasokan yang bermasalah sehingga beberapa pihak dalam jaringan rantai pasokan bisa melakukan tindakan spekulatif.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada 2018, industri makanan dan minuman tumbuh 13,01% pada triwulan I tahun 2018. Pertumbuhan industri ini tidak disertai kenaikan ekspor karena ekspor makanan pada periode yang sama justru menurun 9,77%.

Pada periode ini impor makanan justru meningkat 11,29%. Pada sisi lain, ekspor industri makanan ternyata didominasi minyak sawit. Komoditas ini memiliki kontribusi sekitar 55% dari ekspor makanan. Pada 2016 ekspor minyak sawit Indonesia mencapai US$15,6 miliar.

Permasalahannya ekspor produk makanan yang didominasi minyak sawit ini adalah komoditas primer yang rawan terhadap penurunan harga komoditas global. Selain itu, ekspor minyak sawit ini didominasi oleh perusahaan minyak sawit asing.

Apakah memungkinkan membangun industri pangan yang berkualitas sehingga ketahanan pangan nasional menjadi semakin kuat? Bagaimana seharusnya membangun daya saing industri pangan nasional dan bagaimana pemerintah pemenang pemilihan umum nanti menyusun kebijakan membangun industri nasional?

Bisnis Digital

Dalam debat calon presiden kali kedua, calon presiden petahana Joko Widodo menyebut akan membawa produk pertanian masuk ke marketplace. Produk pertanian yang masuk ke marketplace tentu adalah produk pertanian yang bernilai tambah dan hal ini yang belum terjadi pada sebagian besar produk pertanian khususnya pangan di Indonesia.

Memasukkan produk pangan di marketplace memerlukan prasyarat karena pada saat masuk di bisnis digital maka produk pangan dan pertanian harus memenuhi standar kualitas dan konsistensi produksi pada level tertentu.

Produk pangan dan pertanian lokal di Indonesia masih mengalami berbagai masalah mulai dari rendahnya produktivitas, baik karena bibit maupun lahan bercocok tanam yang semakin berkurang, hingga produk turunan dari komoditas pertanian  belum banyak menyerap komoditas pertanian lokal.

Salah satu contoh terbaik untuk menggambarkan industri pangan di Indonesia adalah industri peternakan ayam potong. Industri ini dari hulu ke hilir dikuasai pemain asing dan peternak pada umumnya adalah mitra perusahaan.

Para peternak mendapatkan bibit, pakan, obat, dan pendampingan dari perusahaan sehingga mereka sebenarnya adalah ”karyawan” perusahaan karena pemahaman tentang teknologi budi daya peternakan ayam terbatas. Tugas mereka hanya menyiapkan kandang dengan luas tertentu untuk jumlah ayam tertentu.

Dengan kondisi seperti ini, penentuan jumlah pasokan daging ayam di pasar dan tingkat harga tidak berada di tangan para peternak, melainkan di tangan perusahaan atau pedagang perantara. Kondisi yang hampir mirip juga terjadi dalam produksi minyak sawit dengan mekanisme kemitraan yang nyaris sama.

Berdasarkan pemaparan tersebut, untuk masuk ke marketplace masih banyak persoalan yang harus diselesaikan untuk meningkatan nilai tambah produk pangan dari hasil pertanian. Memasukkan produk pangan dari pertanian ke marketplace bisa menjadi salah satu solusi standardisasi harga dengan catatan petani atau minimal koperasi petani sebagai pihak yang menjual produk tersebut di marketplace, bukan pihak ketiga atau pedagang perantara.

Inovasi dan Keberpihakan

Produk pangan dari pertanian membutuhkan inovasi agar mata rantai paling penting dari industri ini berada di tangan petani atau pengusaha lokal. Inovasi pertama yang perlu dilakukan adalah perbaikan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian.

Perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana pertanian di Indonesia saat ini justru tidak menghasilkan petani atau jika ada jumlahnya sangat sedikit. Di sektor pertanian regenerasi sumber daya manusia nyaris tidak terjadi. Mereka yang bersedia menjadi tenaga kerja di sektor ini adalah sumber daya manusia tidak terampil dan tidak terdidik.

Harga komoditas pangan dan pertanian yang memiliki nilai tukar petani nasional sejak 2013 terus menurun dan saat ini hanya mencapai 102. Hal ini menyebabkan tingkat upah rendah dan tidak menarik bagi sumber daya manusia berkualitas.

Inovasi berikutnya adalah kepemilikan tanah. Dalam sebuah kertas kerja, Setiaji (2019) menyampaikan ide agar pemerintah membagikan tanah kepada para sarjana pertanian agar mereka mengolah tanah itu dan menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dan layak diolah menjadi produk makanan.



Ide ini terkait dengan penguasaan tanah produktif kepada kelompok masyarakat produktif dengan tugas mengembangkan industri pangan dan pertanian. Inovasi berikutnya adalah riset dan pengembangan dengan hasil berupa produk yang siap dikembangkan oleh industri.

Peningkatan anggaran penelitian dan pengembangan yang diberikan kepada lembaga penelitian maupun perguruan tinggi untuk mengembangkan riset-riset terkait produk pangan dan pertanian harus segera diwujudkan.

Kebijakan selanjutnya yang cukup penting adalah perusahaan atau industri yang bersedia mengembangkan produk pangan dan pertanian dengan bahan baku lokal diberi insentif  untuk menarik minat mereka.

Pemerintah juga perlu merestrukturisasi tata kelola perdagangan komoditas dengan menghilangkan pelaku oligopoli yang menyebabkan harga produk pangan dan pertanian menjadi tidak wajar.

Keberpihakan pemerintah kepada petani dan pelaku industri pangan dan pertanian lokal akan menjamin agenda ketahanan pangan nasional tercapai dan industri pangan dan pertanian menjadi industri yang kuat untuk menopang perekonomian nasional. Siapa (calon) presiden yang bisa mewujudkan hal itu?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya