SOLOPOS.COM - Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang vonis praperadilan yang diajukan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (29/9/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Reno Esnir)

Setelah gugurnya status tersangka Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP, KY didesak memeriksa hakim Cepi.

Solopos.com, JAKARTA — Desakan agar hakim perkara praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar, diperiksa menguat pascasidang putusan akhir pekan lalu.

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

Ketua Umum Lembaga Kontrol Korupsi Agus Taufiqurrahman mengatakan putusan sidang praperadilan yang mengabulkan permohonan Setya Novanto dinilai janggal dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

“Kejanggalan itu seperti adanya temuan dari KPK yang sangat kuat mengindikasikan bahwa Setya novanto layak ditetapkan sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP,” ungkapnya, di Jakarta, Minggu (1/10/2017).

Karena itu, lanjutnya, lembaganya bersama beberapa komponen masyarakat mendesak Komisi Yudisial (KY) turun tangan memeriksa Cepi Iskandar dalam praperadilan itu.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan untuk kesekian kalinya rasa keadilan publik menjadi korban penggunaan asas kebebasan hakim yang berlebihan. Akibatnya, ketidakadilan justru menjadi produk dari lembaga yang seharusnya berfungsi melahirkan putusan yang seadil-adilnya.

“KPK harus mengawali sebuah penyelidikan dengan memeriksa hakim Cepi Iskandar karena patut diduga telah bertindak di luar kepatutan dengan berlindung di balik dalil kebebasan hakim. Atau apakah ada campur tangan kekuasaan eksekutif, yudikatif atau legislatif termasuk informasi tentang suap. Sebuah penyelidikan dan penyidikan merupakan keharusan guna memastikan apakah ada penyalahgunaan asas kebebasan hakim,” katanya.

Sebelumnya, Lalola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan dalil hakim Cepi yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan ini adalah alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.

Dengan dalil tersebut, artinya Cepi mendelegitimasi putusan majelis hakim yang memutus kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto yang sudah berkekuatan hukum tetap. “Padahal, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan,” ujarnya.

ICW mendesak agar Komisi Yudisial menindaklanjuti laporan-laporan yang sudah masuk terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Cepi. Selain itu, Mahkamah Agung diminta mengambil langkah konkret dengan melakukan eksaminasi putusan praperadilan itu dan mengambil langkah tegas jika ditemukan dugaan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh yang bersangkutan

“KPK harus kembali menetapkan SN sebagai tersangka dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan baru. Selain itu, manakala SN sudah kembali ditetapkan sebagai tersangka, KPK harus bergerak lebih cepat dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup,” tegasnya.

Dalam persidangan, Hakim Cepi Iskandar mengatakan surat perintah penyidikan (sprindik) dengan tersangka Setya Novanto yang dikeluarkan pada 17 Juli 2017 tidak menunjukkan proses penyelidikan terhadap Novanto.

Dia juga menganggap bukti yang diajukan KPK bukan berasal dari tahap penyelidikan dan penyidikan kasus Novanto, melainkan dari perkara terdakwa Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Cepi menilai, hal ini tidak sesuai dengan prosedur penetapan tersangka dalam Undang-udang (UU) No. 30/2002 maupun prosedur standar yang ditetapkan oleh KPK.

Dengan demikian, hakim memutuskan bahwa surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Novanto yang diterbitkan pada 18 Juli 2017 dianggap tidak berlaku dan memerintahkan KPK agar penyidikan terhadap Novanto dihentikan.

Meski demikian, sebagian permhonan Setya Novanto tidak dikabulkan oleh hakim seperti pencabutan pencegahan Novanto dengan pertimbangan bahwa pencabutan pencegahan merupakan wewenang administrasi lembaga lain yakni Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM yang dimohonkan oleh KPK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya