SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pekanbaru–Status quo konsesi izin Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di kawasan gambut berpotensi terjadi illegal logging. Diperkirakan kerugian negara bisa mencapai Rp 100 miliar lebih.

Hal itu terungkap dalam dalam diskusi lingkungan yang diselenggarakan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) di Pekanbaru, Sabtu (28/11). Diskusi lingkungan ini, dihadiri sejumlah aktivis lingkungan, Walhi, Greenpeace dan pakar lingkungan Prof Adnan Kasir dari Universitas Riau (UNRI).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Menurut Direktur Jikalahari, Susanto, Menhut Zulkifli Hasan telah menyetujui pencabutan sementara izin HTI PT RAPP seluas 115 ribu hektar. Namun persetujuan baru bentuk lisan tanpa ada SK penetapan.

“Selama staus qua ini, PT RAPP tetap melakukan perambahan hutan di kawasan gambut Semenanjung Kampar. Diperkirakan sejak izin dikeluarkan oleh Menhut MS Kaban pada 12 Juni 2009 lalu, sudah ada 1000 hektar lahan gambut gunduli pihak perusahaan,” kata Susanto.

Juru Bicara Greenpeace Wilayah Asia Tenggara, Bustar Maitar dalam kesempatan yang sama menyebut, dengan belum di tekennya SK pencabutan izin tersebut, hal itu berpotensi merugikan negara dari segi tegakan kayu alam. Dalam hitungan tiga bulan pasca diberikan izin oelh MS Kaban, dengan 30 alat berat yang bekerja di lokasi tersebut.

Estimasi angka kerugian negara dihitung dari harga kayu, dana reboisasi (DR) serta dana Propisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Di lokasi tersebut, diperkirakan minimal terdapat 77 meter kubik kayu per hektarnya. Dengan 1.000 hektar hal itu menghasilkan 77000 meter kubik.Harga kayu log minimal Rp800 ribu/meter kubik.

Pajak DR untuk jenis kayu log (besar) yang dikenakan pemerintah sebesar 12 dollar / meter kubik. Sedangkan PSDH harganya 38 ribu/meter kubik. Bila ditotal seluruhnya hanya dengan hitungan kasar, negara sudah kehilangan dana lebih sekitar 73 miliar dari pajak jenis kayu log.

“Ini belum kita hutungan pajak dari jenis kayu baban baku serpih (BBS) yakni yang dihitungan kayu-kayu kecil di lokasi itu. Bila dihitunng dengan BBS, maka angkanya bisa bertambah minimal 40 persen dari hitungan tegakan kayu log. Jadi totalnya pajak kayu log dengan BBS dalam 1000 hektar berpotensi merugikan negara lebih dari Rp100 miliar,” kata Bustar Maitar.

Sedangkan pakar lingkungan Prof Anan Kasir dari Universitas Riau, hal ini belum dihitung dari kerusakan ekositem di mana pembabatan itu berpotensi melepas emisi carbon jutaan ton setiap hektarnya.

“Untuk memulihkan kembali lahan tersebut sebagaimana kondisi awalnya, minimal membutuhkan waktu 7 regenerasi. Jadi ditinjau dari segi kerusakan lingkungan, tentulah sangat sulit dapat kembali seperti semula,” kata Adnan.

Karena itu pencinta lingkungan ini, berharap, agar menhut Zulkifli Hasan segera mengeluarkan SK pencabutan untuk selamanya atas perluasan izin HTI PT RAPP itu. Dari izin yang ada, 56 ribu hektar konsesi PT RAPP berada di lahan gambut yang paling banyak menyimpan emisi carbon.

“Jangan biarkan lahan tersebut status qua, karena selama status qua berlangsung, PT RAPP masih terus melakukan pembabatan hutan alam di lokasi itu. Sebelumnya kerugian semakin membesar, pemerintah pusat harus segara mencabut izin perluasan HTI,” kata Adnan Kasri.

dtc/isw

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya