SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Setelah terkuaknya skandal makelar kasus (markus) Gayus HP Tambunan, hal itu disusul munculnya seruan untuk boikot (tidak membayar) pajak melalui situs jejaring sosial facebook. Seorang facebooker berhasil menggalang suara untuk mendukung langkah pemboikotan pajak hingga 100.000 orang lebih.

Kendati kurang pas, oleh pemrakarsa, langkah ini dijadikan bentuk untuk menekan penuntasan persoalan ini secepatnya. Kendati belum mencapai 1 juta orang lebih, fenomena ini mewakili keprihatian masyarakat akan persoalan korupsi perpajakan ini.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Nada-nada sumbang lain mengenai masalah ini juga sangat banyak. Beberapa di antaranya, karena orang pajak selama ini terkenal dengan pendapatannya yang lebih dibandingkan dengan PNS lainnya, sehingga munculah anekdot: “Gadis bijak, pasti cari orang pajak” (sebagai ganti orang bijak, taat bayar pajak), atau muncul sebutan baru untuk orang kaya mendadak: “Gayus banget loe”!!.

Sebaliknya kalau belum kaya, disebut: “Kamu enggak gayus deh”!!. Atau kredo dari Ditjen Pajak yang berbunyi: “Hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia?” diplesetkan menjadi  “Hari gini bayar pajak, apa kata dunia?

Ekspedisi Mudik 2024

Sinisme masyarakat
Semua bentuk sinisme bahkan sarkasme di atas sebenarnya tidaklah bermaksud untuk benar-benar mau memboikot pajak. Langkah ini justru merupakan bentuk kepedulian masyarakat akan masalah perpajakan ini. Mereka tidak ingin kalau uang masyarakat yang sudah masuk dan akan masuk ke kas negara, harus disunat oleh para koruptor pajak dalam berbagai dimensi dan bentuk.

Sebab, korupsi perpajakan ini diperkirakan lebih besar dari sekadar skandal Gayus dengan temuan Rp25 miliar uang di rekeningnya. Fenomena ini diduga merupakan puncak gunung es dari persoalan korupsi perpajakan dan korupsi lainnya.

Nah, kalau itu terjadi, bisa dibayangkan berapa kerugian negara yang harusnya masuk dan bocor di tengah jalan akibat ulah para koruptor yang demikian jahatnya. Nilainya mungkin bisa mencapai triliunan rupiah. Modus kejahatannya sangat beragam, namun yang paling besar terjadi pada pengadilan pajak, karena para wajib pajak (WP) berhasil memenangkan gugatan pajaknya.

Menurut penelitian ICW, negara hanya berhasil memenangkan 20% perkara perpajakan, sementara para WP berhasil memenangkan 80% perkara. Jadi skornya untuk sementara dimenangkan oleh para wajib pajak dengan skor 4  berbanding 1. Negara dalam hal ini terkalahkan oleh para WP.

Tak aneh kalau kemudian muncul istilah tax farming atau peternakan (wajib) pajak seperti halnya ternah sapi, ternak kambing dst. Namun, karena ternak sapi dan kambing kurang menguntungkan, mereka lebih senang beternak WP.

Caranya beragam, salah satu di antaranya adalah dengan cara pengusaha ditakuti-takuti supaya ada negosiasi dengan WP dan ujungnya adalah komisi. Strateginya diatur, yang seharusnya bayar 100%, bisa diatur hanya 50% misalnya, selanjutnya 20% nya untuk komisi dan sisanya 30% merupakan bentuk penghematan.

Oleh sebab itu, pengusutan lebih lanjut tentang masalah ini harus segera dilakukan. Kinerja Ditjen Pajak yang sudah cukup bagus dalam meningkatkan penerimaan nagara dalam bentuk pajak harus tetap dipertahankan bahkan ditingkatkan. Sederetan keberhasilan yang sudah dicapai, sebaiknya dipertahakan seperti keberhasilan sun set policy, target penerimaan pajak sebesar Rp600 triliun (pada 2009 lalu), dan penambahan wajib pajak sebesar 10 juta (2009), harus semakin bisa ditingkatkan. Apabila semua bentuk penyimpangan di atas bisa diatasi, bukan tidak mungkin mereka akan bisa meningkatkan penerimaan negara dalam bentuk pajak ini.

Sebaliknya, apabila skandal korupsi pajak ini tidak pernah dituntaskan, masyarakat akan semakin skeptis dan apatis dengan masalah pajak ini. Bukan tidak mungkin, penerimaan negara akan pajak ini akan semakin menurun akibat mogoknya para WP. Atau bisa pula karena banyaknya pegawai Ditjen pajak yang bermasalah, mereka harus di non aktifkan untuk sementara waktu. Kalau itu terjadi, jelas akan mengganggu kinerja Ditjen Pajak, yang tengah gencar-gencarnya menambah pundi-pundi negara melalui pajak dalam berbagai bentuknya. Kalau fenomena terakhir yang terjadi, kita akan mengalami stagnasi fiskal bahkan kemunduran fiskal.

Evaluasi menyeluruh
Euforia keberhasilan reformasi birokrasi yang sudah digembar-gemborkan Kementrian Keuangan, ternyata tidak pas dan membawa korban (pihak yang dirugikan, yakni masyarakat/negara). Oleh sebab itu, evaluasi terhadap reformasi birokrasi perlu dilakukan. Gaji pegawai pajak yang bisa mencapai 4 kalinya para PNS lainnya, sebaiknya. Stop dulu program, ubah sistem dan desainnya. Ubah dulu perilaku dan etos kerja (moral), dievaluasi, baru diberi remunerasi sesuai dengan kinerja dan moral dari aparat pajak.

Moratorium utang untuk program reformasi birokrasi ini. Hentikan dulu program kenaikan remunerasi, karena menggunakan uang dari utang Bank Dunia (Rp13 triliun). Bersamaan dengan itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai, karena kedua-duanya rawan permainan uang (korupsi).

Perhatikan moral dan etos kerja di antara para pegawai, dan kalau prestasinya baik, baru dinaikkan remunerasinya. Jangan dinaikkan terlebih dahulu baru dilihat kerjanya. Selama ini kita seringkali terbalik-balik.

Pesan intinya adalah tegakkan good corporate governance (GCG) terlebih dahulu. Untuk lebih menegakkan GCG, minimal ada dua pilar besar yakni masalah komitmen dan konsistensi dari para stakeholders.. Dari para atasan dan pegawai yang terlibat harus ada komitmen. Misalnya masalah code of conduct (kode etik), larangan dan sanksinya harus jelas dan tegas. Kedua adalah adanya konsistensi. Misalnya, masalah pelaporan kekayaan, SPT para karyawan pajak harus dilakukan tidak hanya pascaledakan kasus Gayus, namun dari dulu dan masa mendatang. Harusnya sejak dulu bukan hanya sekarang. Harusnya jangka panjang ke depan. Keteladanan dari atas sangat diperlukan, leadership by example (contoh keteladanan) sanga ditunggu-tunggu.

Oleh Susidarto

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya