SOLOPOS.COM - Ginda Ferachtriawan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Perasaan saya campur aduk saat perjalanan dari Magelang menuju Solo pada 2 Oktober 2022. Saat itu saya baru saja pulang menonton laga Liga 2 antara Nusantara FC melawan PSCS Cilacap di Magelang. Kaget, sedih, kecewa. Itu yang saya rasakan ketika membaca sebuah artikel di telepon genggam.

Artikel tersebut tak lain adalah tentang tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, yang mengakibatkan—data terkini—135 orang meninggal seusai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Hati saya merasa miris melihat foto anak-anak dibopong seorang lelaki dewasa di tengah kerusuhan. Saya tidak tahu apakah penonton cilik itu selamat atau tidak.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Yang jelas, data terakhir mencatat 39 anak meninggal dalam tragedi memilukan itu. Korban terkecil adalah anak berusia tiga tahun. Sebanyak 43 perempuan meninggal dunia, salah satunya Helen Prisella. Ia mengembuskan napas terakhir setelah dirawat 10 hari di rumah sakit.

Jumlah itu jelas bukan sekadar angka. Itu adalah tragedi kemanusiaan yang luar biasa. Stadion yang mestinya memberikan hiburan dan menjadi ruang aman justru jadi “kuburan massal”. Ini pukulan telak bagi persepakbolaan nasional.

Selama ini bukan hal mudah mengajak perempuan dan anak-anak menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion. Iklim sepak bola nasional yang masih rentan kerusuhan menjadi salah satu alasan keluarga enggan datang ke stadion.

Beberapa musim terakhir sebenarnya mulai banyak perempuan dan anak hadir di stadion, termasuk di Stadion Manahan. Pemandangan orang tua mengajak anak-anak mereka naik tribune semakin lazim ditemui ketika markas Persis Solo itu selesai direnovasi.

Tragedi Stadion Kanjuruhan saya yakini sedikit banyak berpengaruh terhadap keberanian perempuan dan anak-anak hadir di stadion. Seusai insiden tersebut, saya dibanjiri pesan yang mempertanyakan sejauh mana keamanan Stadion Manahan, stadion yang saya kelola setiap Persis berlaga.

Setiap tragedi selalu mengandung hikmah bagi orang yang mau belajar. Belakangan ini perdamaian suporter tumbuh subur. Sebelumnya, hampir tak bisa dibayangkan fans Persis Solo dan PSIM Jogja bisa saling berangkulan dan bernyanyi bersama.

Momentum serupa bisa diraih untuk pembenahan stadion secara menyeluruh. Pembenahan stadion tak hanya perbaikan infrastruktur. Memastikan seisi stadion memiliki kultur ramah keluarga juga tak kalah penting. Perlu desain sosial agar stadion tak menjadi “medan perang”, melainkan menjadi sarana hiburan yang menyenangkan.

Paniti pelaksana atau panpel memegang peran penting untuk mewujudkannya. Paniti pelaksana pertandingan idealnya tak hanya menjadi penyelenggara, tapi pelayan semua stakeholders yang terlibat seperti klub, suporter, perangkat pertandingan, hingga aparat keamanan.

Protokol Perlindungan

Paniti pelaksana pertandingan bersama stakeholders perlu mulai menyusun panduan pelindungan bagi para kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Protokol tersebut menjadi semacam prosedur standar operasional yang harus ditaati “warga stadion”.

Protokol wajib diberlakukan mulai dari penonton masuk ke kawasan stadion seperti pintu masuk dan screening tiket. Apabila belum memiliki pintu khusus, panitia pelaksa dapat menyiagakan petugas agar kelompok rentan tak perlu antre berdesak-desakan saat memasuki stadion. Hal demikian sudah diberlakukan di Stadion Manahan.

Memastikan tak ada asap rokok di tribune juga menjadi bagian mewujudkan stadion ramah keluarga. Upay aini tak cukup lewat screening di pintu masuk dan pemasangan tanda larangan merokok. Penonton perlu andil membangun kesadaran.

Tak perlu ragu menegur orang yang nekat merokok demi kenyamanan bersama. Jika tak berani mengingatkan langsung, petugas dapat turun tangan berbekal protokol. Pekerjaan bersama  yang cukup menantang untuk membuat stadion nyaman bagi semua kalangan adalah mengelola chant atau nyanyian suporter.

Sering kali chant yang dikumandangkan suporter bersifat ofensif, berisi kalimat kasar hingga umpatan. Sumpah serapah bakal semakin deras ketika klub idola mereka kalah atau dirugikan. Suporter tak sadar ada anak-anak yang hadir di tengah mereka.

Hal ini tentu buruk bagi tumbuh kembang anak mengingat mereka adalah peniru ulung. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan hampir 70% perilaku anak adalah meniru lingkungannya. Selama ini hampir semua paniti pelaksana pertandingan sepak bola  di Indonesia memakai pendekatan memisah tribune kelompok suporter dengan penonton umum sebagai solusi.

Upaya ini tidak salah, tapi tak menyelesaikan akar masalah. Ada baiknya lintas stakeholders mengutamakan edukasi suporter sehingga pemahaman tentang stadion ramah keluarga sampai hingga akar rumput. Gagasan tribune khusus keluarga juga menarik diwujudkan.

Penonton memilih tribune ini bukan karena pertimbangan harga tiket, tapi karena kenyamanan. Lokasi tribune keluarga harus dipastikan jauh dari potensi kekerasan atau pelanggaran. Jangan lupakan pula tribune untuk kalangan penyandang disabilitas. Belum banyak stadion di Indonesia yang memiliki tribune khusus untuk difabel.

Kalaupun ada, tribune tersebut belum ditunjang akses yang benar-benar nyaman bagi kalangan penyandang disabilitas. Stadion semakin manusiawi dengan penyediaan pos kesehatan yang tersebar di penjuru stadion. Penyediaan tempat salat yang representatif juga perlu dipikirkan mengingat jadwal pertandingan kadang berimpitan dengan jadwal salat.

Tiket Pelajar

Selain penyediaan fasilitas, kemudahan akses pembelian tiket dapat menjadi nilai plus tersendiri. Gagasan tiket khusus anak atau pelajar sudah saatnya direalisasikan. Harga tiket anak dapat dipasang lebih murah, bisa setengah harga tiket orang dewasa.

Manajemen klub perlu responsif dengan menyediakan kuota tiket anak yang proporsional. Keberadaan tiket khusus anak secara tidak langsung mengedukasi mereka mendukung klub kebanggaan. Orang tua dapat sekaligus mengajarkan anak menyisihkan uang jajan demi menonton klub idola.

Menonton sepak bola di stadion bakal semakin menjadi sarana edukasi apabila anak diajak naik sarana transportasi umum menuju lokasi. Warga Kota Solo pantas bersyukur karena Stadion Manahan dilalui bus Batik Solo Trans (BST).

Penonton atau suporter dapat memanfaatkan sarana tersebut menuju stadion untuk menghemat pengeluaran. Mengendarai sarana transportasi umum juga dapat mencegah kepadatan di ruang parkir dan potensi kerusuhan yang bisa merusak fasilitas di sekitar stadion.

Potensi kerusuhan juga dapat ditekan apabila ada koordinasi yang baik antara stakeholders dengan aparat keamanan. Perlu penyamaan persepsi agar tragedi seperti di Stadion Kanjuruhan tidak terulang. Sesuai regulasi FIFA, gas air mata—apalagi senjata api—sama sekali tidak boleh dibawa ke dalam stadion.



Saat mengelola Stadion Manahan, saya selalu menekankan agar petugas hanya membawa tongkat meskipun itu laga bertensi tinggi. Langkah persuasif dan mengayomi perlu dijunjung tinggi seluruh petugas keamanan untuk menciptakan suasana yang nyaman. Sudah saatnya kita menganggap semua pengunjung stadion adalah keluarga. Dengan demikian, kita bisa saling melindungi dan menjaga.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Oktober 2022. Penulis adalah panitia pelaksana pertandingan Persis Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya