SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Setelah hampir setengah bulan lebih pascapengumuman pengunduran diri Sri Mulyani Indrawati (SMI) dilakukan, hingga kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum mengumumkan siapa gerangan yang akan menggantikan posisi Menkeu.

Banyak calon sudah dimajukan ke bursa calon Menkeu seperti Anggito Abimanyu, Fuad Rachmani, serta beberapa figur lainnya. Terlihat Presiden SBY masih terlalu hati-hati dalam memilih Menkeu, yang memang memegang posisi strategis untuk membangun perekonomian domestik.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Padahal, SMI akan memulai tugasnya yang baru di Washington DC, AS (sebagai managing Director Word Bank) awal Juni 2010 mendatang. Itu berarti kesempatan bagi SBY untuk segera mencari penggantinya tinggal setengah bulan lagi. Jelas, kita tidak memiliki kemewahan waktu untuk menunda penggantian Menkeu yang baru. Pekan-pekan ini, pengumuman itu mutlak perlu dilakukan, sehingga ada kesempatan bagi Menkeu yang baru untuk berinteraksi dan meneruskan tongkat estafet dari Menkeu lama.

Dalam sebuah korporasi biasa saja, jika ada karyawan yang akan keluar, maka perusahaan akan secepatnya mencari pengganti yang baru. Biasanya karyawan lama yang akan keluar, diberi waktu hingga satu bulan ke depan agar perusahaan bisa segera mencari penggantinya yang baru sehingga kesinambungan tugas di unit yang bersangkutan tidak terganggu. Terlebih pejabat sekelas Menkeu, semestinya dilakukan hal sama atau bahkan lebih radikal lagi. Sayangnya, hal semacam ini belum dilakukan.

Jangan berlama-lama
Oleh sebab itu, kekosongan Menkeu harus segera diisi oleh pejabat yang baru. Seperti usulan banyak kalangan, sebaiknya jabatan ini tidak hanya diisi oleh pejabat sementara (Plt), namun dengan hak prerogatifnya, Presiden bisa menunjuk calon Menkeu dari kalangan professional (hindari calon dari kalangan politisi atau aktivis parpol). Presiden SBY hendaknya jangan berlama-lama dalam menunjuk pejabat pengganti SMI. Pengalaman BI yang sembilan bulan tanpa Gubernur BI, sebaiknya tidak perlu diulang dalam masalah ini.

Akan lebih baik jika pejabat pengganti memiliki bobot plus, yang tidak dimiliki oleh Sri Mulyani. Artinya, kejadian yang menimpa Menkeu lama, yang selama ini banyak menjadi bulan-bulanan para politisi Senayan (anggota DPR) dengan fenomena walk out dalam acara rapat kerja, tidak akan terulang lagi. Hal ini terjadi akibat (maaf) kelemahan SMI dalam masalah komunikasi politik pasca-Century gate. Bisa dikatakan, komunikasi politik Menkeu dengan kalangan politisi tidak terlalu cantik, sehingga menimbulkan resistensi di kalangan anggota dewan terhadap keberadaan SMI.

Kendati SMI diakui merupakan Menkeu yang baik dalam segi kapasitas keilmuan, namun dalam segi komunikasi politik masih perlu belajar banyak. Menkeu yang lama dianggap tidak bisa mengelola dengan baik para politisi di Senayan, yang tidak suka untuk digurui. Tertangkap kesan selama ini dalam berbagai forum komunikasi, SMI cenderung dominan dalam berkomunikasi. Para politisi yang jelas tidak suka dengan gaya komunikasi yang terkesan menggurui itu. Para politisi ini memang memahami kecerdasan SMI, namun mereka tidak suka untuk digurui. Gaya komunikasi politik inilah yang harus diperbaiki penggantinya kelak.

Tak hanya itu. Penunjukan pejabat yang baru mendesak dilakukan sebab pekerjaan rumah yang ditinggalkan SMI cukup banyak. Terakhir adalah terkait dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2011 yang sudah dibahas dalam sidang Kabinet Paripurna yang langsung dipimpin oleh Presiden SBY. Minimal ada empat elemen penting dalam RKP 2011, yaitu pertumbuhan ekonomi (diperkirakan mencapai 6,3%), aspek keadilan ekonomi, tata kelola (good governance), serta sinergi pusat dan daerah.    

Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar itu memang tidak mudah. Namun kita perlu optimis, karena pertumbuhan ekonomi 2010 saja diperkirakan mencapai 5,8%. Oleh sebab agendanya cukup berat, maka keberadaan Menkeu yang baru sangat diperlukan. Tanpa kehadiran Menkeu, maka pertunjukkan “orchestra” yang bertajuk perekonomian Indonesia ini tidak akan tampil memukau (maksimal). Belum lagi perbaikan di governance dalam bentuk reformasi birokrasi yang boleh dikatakan masih belum maksimal dilakukan. Reformasi birokrasi dalam arti luas, tidak sekadar menaikkan gaji para pegawai.

Keterbatasan waktu
Oleh sebab itu, perdebatan mengenai siapa yang bakal mengisi pos penting nomor satu di Kementrian Keuangan, tidaklah menjadi penting. Kalau perdebatan kita belakangan ini hanya seputar masalah kandidat Menkeu, sangat berbahaya. Kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk bermain-main dalam situasi seperti ini. Ke depan, tantangan yang kita hadapi, baik terkait dengan kondisi ekonomi domestik maupun global, semakin serius. Seperti diuraikan di atas, banyak program ekonomi yang belum tuntas dan menuntut dukungan alokasi anggaran yang lebih efektif.

Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjembatani dan menerjemahkan solidnya capaian dalam indikator makro dan keuangan ke dalam indikator sektor riil sehingga benar-benar bisa dirasakan oleh rakyat luas. Jelas di sini, keberhasilan Menkeu yang baru kelak, tidak hanya tergantung pada sosok pengisi pos tersebut, namun juga sangat tergantung pada support dan dukungan dari lingkungannya, termasuk dari kalangan parpol. Jangan sampai apa Menkeu seolah harus berjalan sendiri, tanpa mendapat dukungan dari para atasannya, sementara yang ditelorkan adalah kebijakan Negara yang berdampak luas.

Oleh Susidarto
Manajer Operasional Bank Panin Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya