SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Akhir Lusono tak hanya penyuka geguritan atau puisi Jawa, dia juga setia. Konsistensinya menggeluti geguritan diwujudkan dalam buku bertajuk Srengenge Emas yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.

Di jagad geguritan Kota Jogja, nama Akhir Lusono telah dikenal luas. Pria jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Jurusan Teater 1998 ini tak hanya multitalenta tapi juga multiprofesi.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketertarikan dan kesetiaannya pada sastra Jawa membuatnya terus berada di jalur seni ini meski berprofesi apapun. “Saya ini kan sebenanya berangkatnya dari dunia teater dan sebenarnya apa yang sedang saya kerjakan ini juga tidak lepas dari dunia teater, misalnya saja profesi saya sebagai MC [master of ceremony] bahasa Jawa, dulu sewaktu masa kuliah kami juga diajari mengenai retorika dan itu pun bisa diterapkan dalam pekerjaan saya,” ujarnya saat berbincang ringan dengan Harian Jogja pekan lalu.

Akhir juga menambahkan, dia selalu tertarik menggeluti berbagai bidang, bagi pria berusia 41 tahun ini menjadi multiprofesi itu menyenangkan.

Ekspedisi Mudik 2024

Dengan ramah, kepada Harian Jogja, Akhir menuturkan kariernya di dunia sastra Jawa dimulai dengan membuat cerita cekak (pendek) sekitar 1995. Saat itu sebuah cerita cekak karangannya dimuat di media massa. “Saya senang, bangga dan bersyukur dan itu memicu saya untuk terus berkarya [seni sastra Jawa],” ujarnya.

Keputusannya terus berada di jalur seni Jawa, tutur Akhir, tak hanya karena kecintaannya terhadap budaya Jawa, tapi juga karena kesempatan. Baginya seni Jawa kian hari kian surut peminat. “Tak banyak yang melirik, sehingga kesempatan di bidang ini terbuka lebar,” katanya.

Di dunia geguritan, Akhir pernah menorehkan prestasi yang tak main-main. Dia pernah memecahkan rekor dari Museum Rekor Indonesia (Muri) katergori Pembacaan gurit 5-6 jam pada 1998. Gurit hasil karyanya dibawakan beberapa penggurit yang berpartisipasi.

DPR hingga sinetron
Soal profesi, saat ini Akhir juga menjajal dunia sinetron. Meski hanya terbilang sebagai seniman lokal, wajahnya kerap nongol di stasiun televisi nasional. Beberapa judul sinetron pernah dibintanginya.

“Meski hanya jadi pemeran pembantu saya cukup senang, karena banyak hal yang didapat. Orientasinya bukan materi tapi pengalaman dan juga ini cita-cita sejak dulu ingin berkiprah di dunia perfilman,” ujar pria yang saat ini berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya Yogyakarta. 

Sebelumnya, Akhir juga pernah terjun ke dunia politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menurutnya penuturan politik itu tidak bisa lepas juga dari seni dan budaya. Ketika politik tidak dibarengi dengan seni maka bisa jadi akan menabrak peraturan. “Dengan menerapkan seni dalam berpolitik akan lebih memudahkan komunikasi, misalnya saja ketika menyentil orang dengan ucapan-ucapan yang memiliki nilai seni akan lebih berkesan dan terlihat lebih sopan dari pada ketika kita menyentil orang dengan menggunakan bahasa yang kasar atau bahasa yang terkesan memojokkan,” katanya.

Sering muncul di media, Akhir juga menuai pro dan kontra. Beberapa pernyataannya soal kesenian sempat menuai protes dari para seniman meski tujuannya adalah untuk menggugah semangat berkesenian.

“Waktu itu saya bilang bahwa pada intinya seniman Jawa harus lebih giat dan produktif, dan dari situ saya banyak mendapatkan protes dari banyak seniman Jawa, tapi ya tidak apa-apa, saya sebenarnya bermaksud menyemangati mereka, agar terpacu untuk terus berkarya dan tidak tertinggal dengan seniman di bidang lainnya,” tuturnya.

Segera terbit
Semangat dan konsistensi Akhir memang tak omong kosong. Bulan depan, semangat dan konsistensinya terhadap dunia seni sastra Jawa, terutama geguritan diwujudkannya dengan menerbitkan buku.

Berjudul Srengenge Emas, buku ini akan diluncurkan Oktober 2011. Buku yang baru selesai cetak itu berisikan tentang geguritan-geguritan yang menggambarkan isi dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

Untuk menerbitkan buku ini, Akhir harus menempuh jalan berliku. “Waktu saya mau mencetak buku ini, banyak [penerbit] yang menolak karena mereka pesimistis akan penjualan buku ini nantinya, tapi saya tetap kekeuh [ngotot] untuk memproduksinya, sehingga tanpa sponsor saya mampu memproduksi buku-buku ini,” ujarnya.

Buku ini memang bukan satu-satunya bentuk kecintaannya terhadap geguritan, karya geguritannya sebelumnya juga sudah cukup banyak. “Lewat buku ini saya berharap geguritan bisa dilestarikan di tengah masyarakat modern yang terus berkembang,” pungkasnya.(Kontributor Harian Jogja/Ari Nena)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya