SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

“Lebih baik jadi tuan kecil, daripada buruh besar,” kata Sri Wahyaningsih, perintis Sanggar Anak Alam, sekolah ‘impian’ Ki Hajar Dewantara.

Sebuah sore yang cerah, Rabu (21/9). Angin berhembus pelan. Saat menapaki pematang sawah, hati terasa tenteram. Maklum, Sanggar Anak Alam (SALAM) terletak di areal persawahan Kampung Nitiprayan, Kasihan, Bantul sehingga hanya bisa diakses melalui jalan setapak.

Promosi BRI Bantu Usaha Kue Kering di Sidoarjo Berkembang Kian Pesat saat Lebaran

Ruang kelas dan halaman sanggar tampak sepi. Pelajaran sudah usai sejak pukul 13.00 WIB. Namun, di rumah Sri Wahyaningsih yang letaknya tidak jauh dari sanggar dan di tengah sawah, masih ramai. Gaduh anak-anak terdengar dari kejauhan.

Wahya, begitu ia akrab disapa, duduk bersama anak-anak di ruang depan yang cukup luas. Ruang yang didesain layaknya pendapa tapi tertutup beralas karpet, biasa dipergunakan untuk perpustakaan, ruang pertemuan, ruang tamu, sekaligus ruang keluarga. Dinding-dinding berhias white board, lukisan, gambar hasil karya anggota sanggar.

“Biasalah, anak-anak belajar dan bermain di sini, ya namanya rumah orang banyak jadi berantakan begini,” sapa perempuan kelahiran Klaten tahun 1961 ini seraya tersenyum.

Ia lalu mengajak Harian Jogja mengobrol di meja makan ruang tengah, supaya belajar anak-anak tidak terganggu. “Awalnya saya tidak berniat membeli tanah dan membangun rumah di sini,” katanya mengawali perbincangan.

Sewaktu masih mahasiswi di Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta, ia sering terlibat dengan kegiatan pendampingan masyarakat di pinggiran Kali Code. Di situlah ia bergaul cukup intensif dengan budayawan Romo Mangunwijaya, almarhum. Selesai kuliah ia masih aktif di Kali Code, bekerja untuk Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Duta Wacana.

Setelah menikah dengan seorang aktivis organisasi nonpemerintah di Jogja, Toto Rahardjo, ia berhenti bekerja. Karena suaminya bertugas di luar Jawa, pada 1988 ia hijrah ke rumah mertuanya di Lawen, Pandanarum, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Di sanalah, perjalanan panjang Wahya diawali. Hatinya terketuk manakala melihat banyak anak putus sekolah, angkatan produktif keluar dari kampung. Padahal tanah subur, tetapi masyarakat setempat tidak tertarik untuk memanfaatkannya. Hasil ladang dan sawah di Lawen juga bervariasi, ada kopi, teh, singkong, kayu, kolangkaling, gula, sayuran dan sebagainya. “Saya heran, masyarakatnya kok miskin sekali,” ucapnya.

Setelah melalui perenungan dan riset kecil-kecilan, Wahya menemukan penyebab kemiskinan itu. Pendidikan yang tidak mengakar, menjadi kendala utama masyarakat Lawen tertinggal. “Saya lalu ingat pesan Romo Mangun [YB. Mangunwijaya], bahwa perguruan tinggi itu penting, tapi pendidikan dasar lebih penting,” lanjutnya.

Ia mulai melangkah, mengumpulkan anak-anak dengan biayanya sendiri. Ia menggunakan fasilitas yang ada di rumah mertuanya dan menamakan perkumpulannya itu Sanggar Anak Alam. “Kebetulan mertua saya, 44 tahun menjabat sebagai lurah dan motivator masyarakat setempat dengan menghibahkan tanahnya untuk pertanian umum, untuk pasar dan bangunan umum. Saya seperti dipertemukan dengan orang yang tepat. Ia menguatkan saya padahal waktu itu suami saya tugas di NTT,” kenangnya.

Pertama kali menjalankan aksinya, hanya 15 anak yang tertarik. Tak disangka, dalam hitungan hari, jumlah anak mencapai 160 orang, 40 diantaranya tidur bersama Wahya. “Saya katakan pada meraka bahwa kalau kita ingin punya sesuatu, kita pasti bisa membuat sesuatu,” begitu pesan Wahya yang menjadi dasar anak-anak rajin datang kembali.

Pesan itu lantas direalisasikan dengan berbagai jenis makanan berbahan singkong, dibuat keripik, tape, kue, mangleng. Pisang dibikin macam-macam makanan. Hingga 7 bulan, mereka mampu mengantongi uang hingga Rp1 juta. Anak-anak tetap sekolah pada pagi harinya, siang membuat makanan, sebelum berangkat sekolah mereka menitipkan makanan di warung-warung. Lambat laun, orangtua yang hanya duduk-duduk saja, ikut bergabung.
 
Aktivitas SALAM lebih memperbanyak riset, memelihara kambing, kelinci sampai ngarit. Bahkan, Wahya adalah pelopor warga kampung membuat sapu yang dijual keluar kampung. “Saat itu, belum ada aliran listrik. Kami pakai diesel yang dihidupkan jam 6 sore hingga 11 malam. Masyarakat memanfaatkan penerangan itu untuk membuat sapu. Otomatis, pada jam itu mereka produktif dan berhenti sejenak merokok. Lama kelamaan, ekonomi masyarakat membaik,” tutur Wahya.

Protes
Perjalanan memang tidak selalu mulus. Pernah, orangtua dari anggota sanggar protes dan tidak terima jika anaknya diajak bergabung dengan SALAM sehingga harus berhenti ngarit. Bukannya menciut, justru Wahya memanfaatkan peluang itu untuk mediasi, belakangan disebut temu wicara setiap malam Sabtu Wage.

Pada diskusi itu, persoalan kemiskinan kembali terkuak. Betapa tidak, anak kelas 2 SD wajib ngarit [menyabit rumput] saban pulang sekolah. Hingga kelas 5, aktivitas ngarit tidak pernah berhenti sampai kambingnya genap lima ekor.

“Menurut saya, anak memang perlu disunat, tapi pesta hanyalah menuruti keinginan pencapaian status sosial dan anak jadi korban. Bahkan setelah pesta mereka punya banyak hutang dan mengakibatkan terjadinya hutang dan sistem ijon, itu tidak adil bagi anak,” kata ibu tiga putra ini, geram. Sejak itulah, potong kambing 5 ekor untuk pesta sunatan mulai terkikis.

Membumi
Tahun 1996, Wahya hijrah ke Jogja. Sepeninggalnya, SALAM di Lawen vakum selama 4 tahun. Tidak sedikit muridnya berkirim surat, datang dan minta agar sanggar tetap dijalankan. Setelah melalui perenungan panjang, tahun 2000 Wahya melanjutkan SALAM di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, di rumah barunya. Sementara di Lawen, SALAM tetap hidup hingga saat ini. “Saya mengumpulkan anak-anak lagi, 15 anak. Saya mengumpulkan 10 kader-kader saya terdahulu dan pemuda setempat untuk menjadi fasilitator,” kisahnya.

Tahun ajaran 2008/2009, SALAM memberanikan diri membuka sekolah dasar dengan model pendidikan yang memanusiakan peserta didik. Kini SALAM memiliki 120 siswa, dari tingkat SD hingga SMP. SALAM membangun perpustakaan, memberikan pendidikan lingkungan dan pertanian organik untuk anak-anak.

Wahya menyewa sebidang tanah di samping rumah untuk depot tanaman organik. Sekarang tanah itu sudah menjadi milik sanggar dan dibangun semacam warung sebagai pasar kecil menjual hasil karya anak-anak, mulai dari beras organik, teh, kopi, madu dan sebagainya.

Ia juga melakukan pendampingan remaja, membuat program jurnalistik agar mereka tahu dunia real dengan mewawancarai petani, pedagang, pemulung. Ia menarik remaja untuk membumi. Pendidikan semacam ini disebut Wahya sebagai kritiknya terhadap pendidikan SD dengan kurikulum serba menuntut. “Saya tanya mereka, kenapa kamu tidak kagum dengan orang sederhana?” katanya.

Ngerti, ngroso, nglakoni, itu yang diajarkan Wahya pada siswanya. Perempuan berkacamata minum ini menekankan pendidikan hati nurani, bukan hanya bisa membaca huruf abjad. Tapi juga moco kahanan (membaca suasana).  “Dulu waktu kelas 5 SD, setiap malam weton salah satu keluarga, saya diajak jalan kaki 40 kilometer sama Mbah [nenek] saya, bahwa menjadi manusia itu lain dari makluk lain. Waktu itu saya cuma dengerin saja, sekarang baru terasa dan saya sangat berterimakasih,” ujarnya lagi.

Semangatnya yang menggebu tanpa mengenal usia, diakui Wahya bukan semata atas kecerdasannya. Melainkan hasil olah rasa, nasehat orangtua, serta pengalaman otodidaknya bersama ‘orang-orang kecil’. Sejak kecil, ia telah berlatih hidup mandiri dan sederhana meskipun ayahnya pengusaha batik dan tenun terbesar di Klaten, Jawa Tengah.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya