SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Kiai Haji Thoha Abdurrahman dikenal sebagai salah satu ulama berpengaruh di DIY. Meskipun sudah sepuh, tiga jabatan sekaligus diembannya. Salah satunya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY.

Sore yang cerah, Kamis (25/8) lalu, Pak Thoha, demikian santrinya biasa memanggil, menyapa Harian Jogja dengan ramah di rumahnya Babarsari TB 16 No. 18 Caturtunggal, Depok, Sleman. Sepanjang mata memandang, halaman rumah yang tidak terlalu luas itu tampak hijau ditumbuhi pohon besar dan dedaunan bunga yang lebat.  “Di sini saja ya, lebih sejuk,” tuturnya menyilahkan kami duduk sofa terasnya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Thoha masih tampak bersemangat. Usianya 75 tahun kini. Selama perbincangan, Thoha tak banyak bergerak di tempat duduk. Maklum, dua tahun terakhir ini ia dianjurkan lebih banyak beristirahat di rumahnya karena sakit stroke. Meski demikian, Thoha tak pernah bemain-main dengan keseriusannya berkutat dalam bidang agama khususnya syariah.

Terbukti saat ini ia menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY 2001–sekarang (dua periode), Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi DIY 2010–sekarang dan Ketua Dewan Pengawas Syariah BPD DIY Syariah sejak 2007.

“November 2011 nanti akan ada pemilihan [Ketua MUI DIY], kalau terpilih lagi saya tidak bisa menolak. Yang namanya neraka wel itu tempatnya tukang salat yang diminta tolong orang lain bisa menolong, tapi tidak mau menolongnya,” kata lelaki kelahiran Wonosobo 24 Desember 1936 ini.

Toha sudah banyak merasakan pahit getirnya perjuangan. Dia masih ingat, ketika masa penjajahan Jepang tahun 1941, yang memberlakukan aturan kejam dan tak segan menghukum rakyat Indonesia. Di kampungnya Tegalsari, Garung, Wonosobo, jangankan untuk bersenang-senang, bisa makan sehari sekali saja Thoha sekeluarga sudah sangat bersyukur.

Saat itu, harga bahan makanan mahal, tempat tinggal seadanya, tubuh berbalut kulit kambing. Pakaian berbahan kain harganya terlampau tinggi, rakyat kecil tak mampu membeli. Tapi semua itu dijalani seolah tanpa beban. Sama ketika Thoha kecil dan kawan-kawan berlarian tanpa beralas kaki menuju ke sekolahnya, SDN Garung Wonosobo.

Setelah Indonesia merdeka, bahan makanan mulai melimpah. Pakaian dijual murah. Hanya saja, pendidikan masih belum sepenuhnya mendapat perhatian. Beberapa guru yang mengajar didatangkan dari kota lain. Masa-masa setelah kemerdekaan, Bung Karno sering datang melakukan kunjungan ke Wonosobo. Murid-murid SD dan masyarakat berjejer menyambut kedatangan sang pelopor kemerdekaan RI itu. “Saya dua kali melambaikan tangan ke Pak Karno, semua berteriak bersuka ria,” kenang Thoha, tersenyum.

Pondok
Ayah Thoha yang seorang kyai, menyarankan Thoha kecil masuk pesantren setelah lulus sekolah dasar. Thoha sempat bertolak belakang dengan keinginan ayahnya itu meskipun sejak kecil ia sudah merajut impian masuk dalam ‘dunia’ Islam. Menebalkan iman tak harus mondok di pesantren, begitu menurutnya.

Thoha akhirnya masuk Sekolah Menengah Pertama Islam di Wonosobo. Namun tak berlangsung lama, sekitar dua bulan ia keluar tanpa pamit dan mendaftar di SMPN I Wonosobo. Selain biayanya lebih ringan, masa pembelajaran di sekolah negeri lebih cepat. “Saya tidak bilang kalau pindah ke SMP Negeri. Saya jelaskan pada Bapak, sekolah negeri itu lebih murah biayanya, ia setuju,” kisah Thoha.

Lulus SMP, ayahnya masih tetap menyarankan supaya Thoha tinggal di pondok pesantren dan masuk Pendidikan Guru Agama (PGA). Thoha menolaknya. Ia lebih memilih studi di SMEA swasta Magelang. Lantaran biayanya cukup mahal, Thoha tak mampu bertahan lama. Tiga bulan, ia memutuskan pindah ke SMAN I Magelang.

Di sekolahnya itu, perjalanan dan keseriusan Thoha ikut organisasi menggelora. Ia terpilih sebagai ketua cabang IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama). “Saya sambil ngajar ngaji di pesantren, jadi Bapak senang meskipun tidak masuk PGA,” lanjutnya.

Setamat SMA, Thoha bersikukuh melanjutkan ke bangku kuliah dengan mengandalkan ayahnya yang berprofesi sebagai pedagang sapi. Thoha mendaftar di fakultas ekonomi UGM. Ia diterima. Namun, ayahnya melarang keras. Apa boleh dikata, Thoha hanya bisa manut dan masuk di pondok pesantren Krapyak, Bantul.

Ia lantas kuliah di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Jogja pada 1963. Di kampus, Thoha dipercaya orang-orang di sekelilingnya menjadi wakil ketua BMII Cabang DIY dan Wakil Ketua NU Cabang Jogja. Selama kuliah, ia juga nyambi mengajar ngaji di pondok pesantren dan beberapa SMP untuk menutup biaya kuliah, karena ayah harus membiayai pendidikan delapan adiknya di kampung halaman.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya