SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Berkat wayang, Ledjar Subroto membawa nama baik tanah air Indonesia di negeri orang. Tapi di negeri sendiri jangankan disanjung, kakek berusia 73 tahun ini justru selalu tersandung prasangka buruk.

Mengenakan celana pendek, atasan kaos oblong lengan panjang membungkus tubuhnya ramping tinggi. Rambut putih menunjukkan usianya yang sudah memasuki senja.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dialah Ki Ledjar Subroto, dalang wayang kancil ditemui Harian Jogja pekan lalu di rumahnya Jalan Mataram, Sosrokusuman Jogja. Rumah  tak begitu luas, sederhana, lantai tak berkeramik. Ia tengah menyaksikan tayangan berita di salah satu stasiun televisi. 

Ia bangkit dari tempat duduknya, mematikan televisi. Lantas duduk kembali untuk kemudian bercerita tentang hidupnya.

Nama Ki Ledjar Subroto mulai dikenal pada 1980-an, ketika ia berhasil menciptakan wayang kancil. Wayang yang terinspirasi dari dongeng Si Kancil Nyolong Timun itu mengantarkan kakek delapan cucu ini menyusuri luar negeri.

Jauh sebelum tenar, masa kecil Ledjar penuh kesengsaraan. Pertahanan hidup yang begitu kuat. Di Sampuran, Wonosobo, 20 Mei 1938, Ledjar Subroto dilahirkan dengan nama asli Djariman.

Tanpa ayah, saat menempuh pendidikan di Sekolah Rakjat Negeri VI Sapuran Wonosobo, Djariman kecil sudah bertekad menempuh pendidikan dengan berinisiatif mencari biaya sendiri.

Ia tak pilih-pilih jenis pekerjaan. Sepulang sekolah, ia membuat kursi anyaman dari bahan plastik, bekerja di tukang jahit melubangi kancing baju, sampai menggambar dan menulis kalimat bermuatan motivasi di sekolahnya.

Sore itu, Ledjar begitu energik. Sambil membuka-buka file ijazah SR-nya, Ledjar tersenyum simpul. Ternyata ia ingat kisah yang menggelikan baginya. “Saya lulus umur 17 tahun,” katanya tertawa. Saat ditanya alasannya, kakek berkacamata itu tak berkenan memberikan alasan. “Ya ada sesuatu waktu itu, tapi tidak usah diceritakan he..he.. he..,” lanjutnya sambil tersenyum.

Padahal, setelah menempuh pendidikan 6 tahun di SR, Djariman dinyatakan lulus. Bahkan ia diterima di SGB (Sekolah Guru Bantu). Masa depannya sudah digenggam, menjadi seorang guru. Namun, ia membatalkan SGB dan kembali belajar di SR.

Bertemu ayah
Setelah jengah di SR, usia 17 tahun, ia merantau dan berpindah-pindah mencari pekerjaan sebagai penjual kayu bakar. Suatu ketika, di Magelang, ia melihat pagelaran wayang wong dipersembahkan Kelompok Ngesti Pendawa Semarang.

Di sanalah ia menemukan ayahnya yang telah lama diduga meninggal dunia. Pertemuan mengharukan terjadi begitu saja. “Saya ditawari bapak, mbok melu neng Semarang melu mayang [ikut saja ke Semarang ikut main wayang],” kata Ledjar menirukan ajakan ayahnya.

Bukannya mengiyakan, justru Djariman kembali ke Sapuran. Ia memilih bekerja membuat kursi. Setahun kemudian, terketuk hatinya mengikuti jejak sang ayah. Tapi, Djariman kelimpungan mencari uang saku. Ide membuat wayang dari triplek pun terlintas, yang kemudian dijual di Pasar Malam dekat rumahnya. “Saya tidak langsung ke Semarang, ke Purwodadi dulu ikut bapak dari teman saya, memperbaiki wayang kulit.”

Setahun berlalu, ia akhirnya membulatkan tekad menyusul ayahnya dan ikut bergabung bersama Ngesti Pandawa binaan Ki Narto Sapdo, dalang wayang kulit ternama. Menjadi tukang sungging, Djariman begitu menikmati hari-harinya meski tak diupah. Di sana pula, Djariman dianugrahi nama Ki Ledjar Subroto oleh Narto Sabdo. “Pak Narto sering panggil saya Djar, ya sudah dipanjangkan sekalian jadi Ledjar Subroto.”

Suatu ketika bertemulah ia dengan Sukarjiah di Semarang. Perempuan yang kelak dipersunting Ledjar itu diboyong ke Jogja pada 1974. Di rumahnya yang sempit, ia membuka kios kecil-kecilan, diisi topeng, patung dan wayang. Sambil membuat wayang, ia berdagang rokok di Malioboro.
Kencangkan ikat pinggang

Sesungguhnya, di Jogja inilah kisah perjuangan Ledjar dalam dunia pewayangan dimulai. Kiosnya yang kecil dijadikan semacam gallery, banyak dalang lain datang bahkan turis gandrung dengan karyanya.

Namun, pada 1980, Ledjar seolah terpental dari dunianya sendiri. Betapa tidak, saat itu orang punya hajat tak boleh nanggap wayang, anak muda juga tak berminat lagi. “Pemerintah waktu itu mengeluarkan program mengencangkan ikat pinggang, jadi masyarakat tidak nanggap wayang lagi,” ungkapnya dengan geram, sambil membuka file berisi kliping makalah wayang.

Terpacu rasa putus asa, Ledjar kemudian mencoba menciptakan wayang kancil. Ketika dipentaskan pertama kali di Maguwoharjo pada 1980, wayang kancil menjadi penyelamat wayang lain. “Senang sekali, waktu itu anak-anak, orang tua sampai pedagang makanan nonton semua.”

Wayang kancil-lah yang membukakan pintu Ledjar menuju negeri tetangga. Bahkan di Denhaag Belanda, sejak 2008 ia ikut mengisi stan di Pasar Malam Besar Tong Tong secara gratis. “Orang asing sangat menghargai karya-karya saya. Ehh…malah orang Indonesia seperti tidak menghargai saya,” kata Ledjar penuh amarah, menutup buku filenya berwarna biru.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

Foto (Harian Jogja/Desi Suryanto)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya