SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Siapa tidak kenal singkong atau ubi tela, yang rasanya gurih biasa dimasak untuk nasi tiwul atau keripik. Makanan ndeso ini bagi mereka yang jeli, dapat dimanfaatkan sebagai olahan yang sangat menguntungkan.

Salah satu yang menganggap singkong adalah jalan keberuntungan, kebanggaan dan harga diri adalah Firmansyah Budi Prasetyo, lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2004.

Promosi Cuan saat Ramadan, BRI Bagikan Dividen Tunai Rp35,43 Triliun

Ketertarikan dan keuletannya menenkuni usaha dari tela membuatnya bertambah gelar yaitu ST dan MSi. “Bukan Sarjana Teknik dan Magister Sains, melainkan Sarjana Tela dan Master Singkong,” kelakarnya pada Harian Jogja di sela-sela acara  Pesta Diversifikasi Pangan Asli Indonesia dalam Rangka Menyambut Hari Pangan Sedunia ke XXXI 2011 di kawasan Benteng Vredeburg, Jumat (30/9) pagi.

Meski tergesa-gesa karena pembukaan acara tersebut segera dimulai, namun lelaki yang gemar mengenakan topi ini tetap bersedia mengobrol dengan ramah.

Aktivitas mengeluti olahan tela, lelaki kelahiran Semarang, 30 tahun ini bermula saat bergabung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Canada World Youth setamat kuliah. Di LSM tersebut, ia fokus membidangi pemberdayaan masyarakat. Setelah setahun bergelut di dunia nirlaba, Firman memutuskan menjadi pengusaha.

Usahanya diawali 2006 dengan meminjam satu gerobak, kompor dan wajan milik ibunya dengan modal awal Rp200.000. Kini usaha serba tela-nya menghasilkan miliaran rupiah dalam sebulan.

Pertama kali mencoba usaha ini, ia terlebih dahulu melakukan tes. Ia menggoreng singkong sendiri, membungkusnya dengan plastik kemudian membagikan kepada 10 orang tetangganya. “Sempet kaget juga, ada yang bilang kok telanya mlempem? Tapi itu justru jadi motivasi, kalau barang panas dimasukkan plastik otomatis jadi lembek kan, sebuah pelajaran,” kenangnya sambil tertawa.

Sejak itulah, ia terdorong untuk menjadikan rasa, bentuk serta kemasan tela semenarik mungkin. “Ada dua kemungkinan ketika orang makan singkong goreng, giginya yang patah atau singkongnya yang patah,” katanya. Karena itu, singkong dibuat renyah supaya diminati.

Dengan modal awal Rp3 juta, ia lantas mengolah bahan pangan singkong itu secara cermat. Makanan ringan yang diberi merk Tela Krezz itu berbentuk balok seukuran jari kelingking digoreng, lalu ditaburi bumbu berbagai rasa.

Terketuk
Usaha singkong Firman bukan asal-asalan dan coba-coba. Jauh sebelum ia memulai usaha ini, Firman sudah terketuk hatinya melihat banyaknya kasus kekerasan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Padahal, seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi jika di negeri sendiri terdapat lapangan pekerjaan yang menampung mereka.
 
Di samping itu, Indonesia tekenal dengan kekayaan alam. Ironisnya, masih mengimpor bahan baku pangan seperti gandum, beras, gula sampai garam dari luar negeri. Indonesia seolah telah lupa bawa dirinya merupakan penghasil singkong terbesar ketiga di dunia setelah Brazil.

Firman lantas terinspirasi untuk mengembangkan produk lokal singkong menjadi produk bernilai ekonomis tinggi. Dengan keyakinan bahwa produk olahan singkong tersebut memiliki prospek bagus, Firman terus berusaha mengembangkan produk Tela Krezz dengan sistem kemitraan hingga keyakinannya itu terwujud. Hasilnya menggembirakan. Kini, ia telah memiliki ratusan mitra dan mengandeng lebih dari 40 usaha kecil menengah (UKM) di Jogja dengan omzet yang luar biasa.

Waralaba
Sukses dengan produk Tela Krezz, di bawah bendera Tela Corporation, Firman sebagai pemilik jaringan waralaba Tela Corporation membuat produk baru. Masih dengan bahan dasar singkong, Firman menciptakan produk Tela Cake yang dia beri nama Cokro.

Olahan cake Firman dijual di seluruh Indonesia bahkan Belanda. Jadi jika Anda tengah jalan-jalan ke daerah tersebut, jangan kaget ketika menemukan cake singkong lezat yang ternyata diproduksi di Jogja.

“Selama ini orang sudah mulai terbiasa makan roti, saya pikir kenapa enggak bikin roti dari singkong? Saya memang bukan orang kuliner, tapi satu hal yang saya ingat, segala sesuatu kalau sudah diniatin pasti terwujud, Tuhan tidak tidur kok,” papar Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kota Jogja ini.

Membuat tela cake membutuhkan proses yang cukup panjang dengan trial dan error berulang kali. Tapi Firman tak pernah putus asa, sebab membuat cake singkong tidak semudah membuat roti dari bahan gandum. Selain itu referensinya masih jarang, sehingga Firman harus berusaha sendiri mencari resep dan cara pengolahan yang benar-benar sempurna.

Sampai akhirnya, Cokro Tela Cake yang bertempat di Jalan HOS Cokroaminoto 97 Jogja itu menemukan cake singkong berbagai macam varian rasa seperti mocca, kacang, blueberry, cokelat, strawberry dan keju.

“Saya punya teman-teman yang bisa masak, sebut saja tim siluman gitu deh, saya bisa belajar dari mereka, tapi tetap mempelajari semuanya sendiri. Saya melakukan tes, pertama-tama bentuknya apik rasanya seret, rasa enak bentunya ambyar sampai puluhan kali,” ujarnya terkekeh mengenang masa sulitnya.

Bagi Firman, singkong adalah harga diri. Ada sesuatu yang dibanggakan ketika tangan bisa mengolah hasil bumi sendiri. Harga diri adalah tidak menggantungkan hidup dari orang lain. “[Usaha ini adalah persiapan] Kalau suatu saat nanti, 30 tahun ke depan, isu global warming, pertambahan penduduk pesat, kita bisa dipermainkan harga ekonomi karena tidak memiliki lahan pertanian lagi,” ujarnya.(Wartawan Harian Jogja/Tri Wahyu Utami)

HARJO CETAK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya