SOLOPOS.COM - Aksi vandalisme berupa coretan di bawah bangunan ikon tarian gambyong Flyover Purwosari. Coretan itu muncul sejak beberapa hari lalu dan belum dihapus sampai Selasa (23/11/2021) siang. (Solopos.com/Mariyana Ricky P.D.)

Solopos.com, SOLO — Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menilai penanganan kasus vandalisme harus dengan pemahaman terhadap akar persoalan agar bisa tuntas.

Kaitannya dengan akar persoalan, Drajat mengatakan harus dipahami bahwa vandalisme merupakan simbol pernyataan sosial pelakunya. Untuk menangani vandalisme itu, perlu melihat dulu latar belakang bentuk ekspresi tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Drajat menerangkan vandalisme yang muncul termasuk di sudut-sudut perkotaan memiliki sejumlah maksud dan tujuan. Pertama, vandalisme menjadi semacam simbol pernyataan atau ekspresi sosial pelakunya.

Baca Juga: Saran Warga Solo: Pelaku Vandalisme Dihukum Coret-Coret Rumah Sendiri

Ekspedisi Mudik 2024

“Banyak hal, pertama ada karena masyarakat merasa tidak punya saluran bereskpresi. Mungkin dari kalangan sosial bawah atau kalaupun menengah dan atas, mereka meyakini jika ekspresi mereka tidak pernah didengar,” katanya saat diwawancarai Solopos.com, Minggu (23/1/2022).

Dalam kasus vandalisme itu, Dosen Psikologi UNS Solo itu mengatakan coretan vandalisme muncul untuk menunjukkan kepada publik, bahwa itu merupakan bentuk suara mereka. Drajat menilai adanya vandalisme dimungkinkan karena di masyarakat ada kelas-kelas atau kelompok-kelompok yang komunikasinya tidak berjalan baik.

Struktur Budaya

Entah dengan negara, pemerintah, layanan publik, struktur budaya masyarakat itu sendiri, dan sebagainya. Selanjutnya, vandalisme juga bisa menjadi satu bentuk gerakan sosial dari kelompok tertentu.

Baca Juga: Tepergok Coret-Coret Pintu Toko di Solo, 2 Pelaku Vandalisme Ditangkap

“Mereka ingin melakukan perlawanan kemapanan karena dinilai tidak berpihak pada mereka. Kemapanan dinilai hanya berpihak kepada kelas atas, penguasa modal dan sebagainya. Itu untuk menunjukkan mereka ada dan harus diakui,” jelasnya.

Ketiga, akademisi di Solo itu mengatakan kasus vandalisme bisa muncul sebagai gaya hidup atau pola pemikiran yang cenderung suka melakukan hal-hal ekstrem. Melalui aksinya, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka ada. Mereka tidak akan peduli, akan ada yang memperhatikan mereka atau tidak. Hal itu semacam aliran pemikiran yang ekspresif.

Untuk menangani vandalisme, menurut Drajat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Ada baiknya agar aktivitas itu dapat direspons dengan bijak.

Baca Juga: Pelaku Vandalisme di Kota Solo Diburu Polisi, Tapi Tak Akan Dihukum

“Kalau gerakan itu direspons dengan cara yang tidak pas, misalnya sampai dipenjara atau lainnya. Maka anggapan mereka akan semakin kuat bahwa gerakan mereka benar. Strukturnya ternyata kaku, tidak memperdulikan kelas lain meskipun mereka sama-sama warga Indonesia,” jelasnya.

Wadah Ekspresi

Namun ia tidak menyalahkan jika pelaku kasus vandalisme harus ditangkap seperti yang terjadi di Solo belum lama ini karena melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi selanjutnya dapat ditindaklanjuti salah satunya dengan memberikan wadah bagi mereka untuk menyampaikan ekspresi.

“Kalau menangkap, karena perbuatan tidak menyenangkan. Orang yang punya tembok juga kalau tidak terima bisa menuntut. Tapi itu tidak sekadar ditangkap, dipenjara atau sebagainya. Sebab itu satu aliran pemikiran, kebiasaan mendasar,” jelasnya.

Baca Juga: Cegah Vandalisme, KNPI Solo Inisiasi Street Art untuk Seniman Muda

Untuk itu perlu kajian lebih lanjut sebelum menindaklanjuti aksi vandalisme. Pemerintah bisa melibatkan sosiolog seni dan seniman, yang dapat menilai ekspresi dari hasil vandalisme yang muncul.

“Apakah itu ekspresi suara antipolitik pemerintahan lokal, nasional, atau ketidakterimaan mereka pada perkembangan kapitalisme, atau eksistensi budaya mereka yang ingin diakui. Ada juga yang hanya ingin menunjukkan identitas mereka. Kemudian itu dipetakan. Selanjutnya, penyelesaiannya menyesuaikan itu,” lanjut Drajat.

Jika memang vandalisme terkait dengan masalah politik, bisa diajak diskusi politik agar eskpresinya keluar dan nereka merasa didengar dan diakui. “Setelah itu, jika memungkinkan, bisa diarahkan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya